Di tengah derita yang tak berkesudahan di Gaza, muncul kabar yang mengguncang nurani: perusahaan Indonesia, Danantara, menjalin kerja sama dengan BlackRock—raksasa investasi asal Amerika Serikat yang terbukti memiliki jejak panjang dalam mendanai industri perang Israel.
BlackRock bukan sekadar perusahaan manajemen aset global. Mereka adalah pemain utama dalam jaringan finansial yang menopang mesin militer Israel. Salah satu buktinya, BlackRock memiliki 7,4 persen saham di Lockheed Martin, kontraktor senjata terbesar AS yang menyuplai jet tempur F-16 dan F-35—pesawat-pesawat yang telah berubah menjadi mesin pembunuh di langit Gaza.
“Ketika kita bicara BlackRock, kita bicara tentang aliran dana yang menghidupkan industri perang, bukan sekadar investasi biasa,” ujar Pizaro Gozali Idrus, Direktur Eksekutif Baitul Maqdis Institute. “Dana yang mereka kelola bukan netral—itu punya konsekuensi nyata bagi rakyat Palestina yang setiap hari dibombardir.”
Jet-jet buatan Lockheed Martin digunakan dalam pemboman yang meluluhlantakkan rumah-rumah penduduk, rumah sakit, hingga sekolah di Gaza.
Bahkan pesawat angkut C-130 Hercules buatan perusahaan ini menjadi bagian penting dari logistik serangan militer Israel.
Di situs resminya, Lockheed Martin bahkan dengan bangga menyebut diri mereka sebagai mitra strategis militer Israel sejak 1970, secara terbuka mendukung “keamanan” Israel—yang dalam praktiknya adalah penjajahan brutal atas rakyat Palestina.
Tak hanya Lockheed Martin, BlackRock juga mengucurkan dana besar ke perusahaan pertahanan lain seperti Northrop Grumman—pemasok kapal perang Sa’ar 5 dan sistem rudal Longbow untuk helikopter Apache Israel—dan RTX, pembuat pencegat sistem pertahanan Iron Dome.
Sistem ini adalah bagian dari bantuan militer Amerika Serikat untuk mempertahankan dominasi militer Israel atas tanah yang dirampas dari rakyat Palestina.
Indonesia Harus Tegas: Lawan Penjajahan, Bukan Dukung dengan Dana
Pizaro mengingatkan bahwa keputusan menjalin hubungan ekonomi dengan BlackRock merupakan kemunduran moral bagi bangsa Indonesia.
“Ini bukan soal bisnis semata. Ini soal nurani. Ketika BlackRock terbukti ikut membiayai mesin perang Israel, maka menjalin kerja sama dengan mereka sama saja dengan ikut mencuci tangan berdarah,” tegas Pizaro.
Dia menambahkan, “Bangsa ini dibangun dengan semangat anti-penjajahan. Bung Karno, Bung Hatta, Natsir, dan para pendiri bangsa tidak pernah membayangkan Indonesia hari ini akan berkompromi dengan entitas yang terlibat dalam genosida.”
Benar, amanat konstitusi kita menegaskan bahwa segala bentuk penjajahan harus dihapuskan. Maka jika Indonesia hari ini membuka pintu kepada korporasi yang menjadi bagian dari rantai kekerasan di Gaza, itu artinya kita telah mengingkari jati diri kita sendiri sebagai bangsa merdeka yang menjunjung tinggi keadilan dan kemanusiaan.
Di Amerika sendiri, BlackRock kini menjadi sasaran protes publik. Akademisi, mahasiswa, dan kelompok HAM menuduh perusahaan ini turut andil dalam genosida di Gaza. Bila warga dunia menggugat, mengapa kita justru menyambut?
Presiden Prabowo dan Danantara, Dengarlah Suara Hati Bangsa
“Kami berharap Presiden Prabowo Subianto dan CEO Danantara, Bapak Roslan Roslani, tetap berdiri di sisi yang benar dari sejarah. Jangan biarkan investasi yang menjanjikan laba berubah menjadi pengkhianatan terhadap cita-cita bangsa,” ujar Pizaro.
Indonesia belum menunaikan tanggung jawab sejarahnya terhadap Palestina. Maka langkah paling mendesak hari ini bukan merangkul korporasi pendana perang, melainkan memutus semua bentuk keterlibatan—langsung maupun tak langsung—dengan mereka yang mendukung penjajahan dan genosida.
“Semoga hati para pemimpin bangsa masih berpihak pada kemanusiaan. Karena kelak, sejarah tak hanya mencatat keberhasilan ekonomi kita—tetapi juga, apakah kita berdiri bersama yang tertindas,” tutur Pizaro.