Spirit of Aqsa– Anas Juha berharap bisa meyakinkan diri bahwa di antara reruntuhan rumahnya di lingkungan Fayumi, Gaza, ada yang selamat dari serangan udara Israel pada 6 Desember lalu. Serangan udara itu menghancurkan rumah dan menewaskan 117 anggota keluarganya.
Hanya 57 jasad yang berhasil dievakuasi, sementara lainnya masih tertimbun, seperti ribuan orang hilang sejak awal pembantaian, menurut laporan investigasi situs Israel “Sicha Mekomit”.
Anas selamat karena berada di rumah sang ayah yang berdekatan saat serangan terjadi. Ketika kembali untuk memastikan kondisi keluarganya setelah ledakan, dia hanya menemukan kepulan asap dan debu.
“Seluruh bangunan hancur, yang saya pikirkan hanya 140 orang yang ada di dalamnya,” kata Anas, dikutip laman Sicha Mekomit, Jumat (26/7/2024).
Sicha Mekomit dikenal sebagai platform media alternatif di kalangan aktivis kiri Israel yang berusaha mengungkap praktik dan kebijakan rasial pendudukan Israel.
Anas memulai pencarian gila-gilaan untuk menemukan anggota keluarganya, dibantu dua sepupunya yang juga selamat setelah ledakan melempar mereka keluar dari bangunan dan mengalami luka-luka.
Mobil ambulans baru tiba di lokasi setelah korban pertama dibawa ke rumah sakit Baptist dengan mobil pribadi, karena jaringan komunikasi terputus saat itu. Istri Anas dan dua anak mereka tidak ditemukan, begitu juga dengan orang tua dan saudara iparnya.
Di bawah guncangan hebat, Anas tidak bisa mengingat nama semua keluarganya, bahkan nama istri dan anak-anaknya, tapi akhirnya dia berhasil mencatat nama 60 anggota keluarganya yang
“Yang Hidup Lebih Berharga”
Meski telah berlalu 7,5 bulan, Anas tetap berharap, bukan untuk menyelamatkan yang hilang, tapi untuk menemukan mereka dan mengadakan pemakaman yang layak.
Namun, pertahanan sipil kehabisan perlengkapan dan tim mereka kewalahan dengan skala kehancuran, serta harus menangani serangan lain yang mungkin masih ada korban yang selamat, sehingga “tidak ada waktu untuk kasus seperti kami,” tambah Anas.
“Kehidupan lebih berharga dari kematian,” singkatnya.
Keluarga Anas hanyalah satu contoh dari ribuan warga Palestina yang tercatat hilang sejak awal perang, kebanyakan -seperti tampaknya- terjebak di bawah reruntuhan, mati atau hidup.
Komite Internasional Palang Merah menyebutkan ada 8.700 orang yang secara resmi tercatat sebagai hilang, dan 75% dari mereka belum ditemukan.
Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan angka 10.000 orang hilang, yang tidak termasuk dalam jumlah resmi korban tewas yang hampir mencapai 40.000.
Karena sebagian besar fasilitas kesehatan rusak atau dipaksa untuk dievakuasi, proses penyelamatan, identifikasi, dan pencatatan korban bisa memakan waktu bertahun-tahun.
Juru bicara pertahanan sipil Mahmoud Bsel mengatakan, “Yang paling menyakitkan adalah mendengar suara seseorang dari bawah reruntuhan dan tidak bisa berbuat apa-apa.”
Pertahanan sipil tidak bisa mengevakuasi semua jenazah karena skala serangan dan pembatasan peralatan penyelamatan, serta para anggotanya juga menjadi target serangan meski seharusnya mendapat perlindungan hukum
10.000 Orang Hilang
“Meski perang berakhir, kami butuh dua hingga tiga tahun untuk mengevakuasi semua jenazah… Saat serangan relatif mereda dan kami bisa mengevakuasi beberapa, jenazah anak-anak khususnya sudah dalam tahap pembusukan lanjut,” tambah Bsel, yang memperingatkan risiko penyebaran penyakit dengan ribuan jenazah yang tertimbun saat musim panas meningkatkan kecepatan pembusukan.
PBB memperkirakan, pembersihan 40 juta ton reruntuhan di Gaza bisa memakan waktu 15 tahun.
Menurut Save the Children, lebih dari separuh dari 10.000 orang hilang adalah anak-anak, dengan ribuan lainnya mungkin terkubur di kuburan massal tanpa tanda, atau ditahan oleh pasukan pendudukan, atau hilang di tengah kekacauan.
Jumlah anak-anak Palestina yang tidak diketahui keberadaannya mencapai 21.000, termasuk mereka yang dibawa ke rumah sakit tapi tidak bisa diidentifikasi dan dikategorikan sebagai “anak terluka tanpa keluarga yang masih hidup.”
Media sosial dipenuhi dengan pesan mencari orang hilang, terutama anak-anak, setelah pengusiran paksa dari Rafah di selatan Gaza awal Mei lalu.
Salah satu dari mereka adalah Ahmad Yassin, anak berusia dua tahun yang hilang saat pengungsian massal dari Al-Midan menuju Mawasi dekat pantai.
“Kami berpikir dia bersama ayahnya, dan ayahnya berpikir dia bersama saya, kami baru sadar dia hilang saat memuat barang,” kata ibunya, Samah.
Ayahnya, Rami, kembali ke tempat pengungsian tapi tidak menemukan jejak Ahmad, dan tidak ada yang mengenalinya.
“Kami mencari dia setiap hari di antara yang hidup dan mati… mendengar tentang kematiannya lebih baik daripada siksaan penantian ini. Kami tidak tahu apakah dia hidup atau mati… apakah dia dimangsa anjing, ditahan oleh pendudukan, atau dibawa ke Israel.”
Polisi Gaza tidak secara langsung ikut mencari, karena sumber daya yang terbatas, serta markas mereka juga menjadi target serangan. Mereka membantu sebisanya, tanpa koordinasi atau bantuan dari organisasi internasional, kata sumber dari situs Israel tersebut.
Jenazah Tanpa Identitas
“Kami mengumpulkan informasi dari kerabat dan menyebarkannya di grup WhatsApp dengan rincian kontak, termasuk nomor telepon dan alamat, serta foto orang hilang. Ketika ditemukan jenazah yang sudah membusuk, kami foto pakaian dan tanda pengenal lainnya. Jika wajahnya masih bisa dikenali, kami foto dan sebarkan di media sosial. Lalu jenazah disimpan di kamar mayat selama 3 hari, dan jika tidak ada yang mengidentifikasi, jenazah dimakamkan.”
Sumber tersebut menambahkan bahwa rumah sakit hanya menulis nomor pada setiap jenazah sebelum segera memakamkannya di lokasi tertentu. Jika teridentifikasi, jenazah diberi nama dan dicoret dari daftar orang hilang, keluarga bisa memutuskan apakah memindahkan atau membiarkannya di sana.
Menurut Kementerian Kesehatan Gaza, serangan telah menewaskan 14.000 anak, setengahnya belum
Kuburan Massal
Laporan PBB pada Mei lalu menyebutkan temuan jenazah anak-anak di kuburan massal, beberapa dengan tanda penyiksaan dan eksekusi. Ada juga yang mungkin dikubur hidup-hidup.
Menurut Save the Children, kemungkinan anak meninggal karena luka tujuh kali lebih besar daripada orang dewasa, karena tubuh anak lebih rentan terhadap luka serius yang sulit dikenali.
Namun, tubuh kecil ini kadang menghindarkannya dari hancur di bawah reruntuhan.
Seperti kasus Hamza Malika, satu-satunya yang selamat dari serangan di minggu kedua perang, yang menewaskan seluruh keluarganya.
Setelah 9 bulan perang, belum diketahui jumlah pasti jenazah yang masih tertimbun di rumah di lingkungan Zaytoun, Gaza, tapi tetangga menyebutkan ada 26 orang di rumah tersebut, beberapa jenazah belum dievakuasi.
Paman Hamza, Mohammad, yang tinggal di California, meminta temannya untuk mengurus Hamza sementara dia mengurus kepindahannya ke AS.
“Saya tidak tahu berapa banyak yang ada di rumah itu saat dibom, atau berapa yang mengungsi ke tempat lain di Gaza,” kata Mohammad kepada situs Israel.
Pemakaman Layak untuk Kenza
Sepupu Anas, Najji Juha, hanya ingin pemakaman yang layak untuk putrinya Kenza, dua tahun, yang meninggal dalam serangan yang menewaskan 117 anggota keluarga.
Najji berhasil menemukan jasad istrinya, anak laki-lakinya, orang tuanya, saudara laki-lakinya, dan keponakan-keponakannya, tapi tidak ada jejak Kenza.
“Apakah tubuhnya hancur? Apakah dia terbakar dalam ledakan? Atau apakah dia selamat tapi tercekik di bawah reruntuhan?” Pertanyaan ini menghantui Najji selama 9 bulan, tanpa jawaban.