Pakar militer, Kolonel Hatem Karim Al-Falahi, menegaskan bahwa operasi perlawanan Palestina merupakan kelanjutan dari strategi penyergapan yang telah lama dijalankan di berbagai area di Gaza, dengan fokus khusus pada Kota Khan Younis, terutama di poros timur wilayah tersebut.

Dalam wawancara dengan Al Jazeera, Al-Falahi menjelaskan bahwa faksi-faksi perlawanan telah menyiapkan pertahanan berlapis di kawasan timur Khan Younis, khususnya di daerah Abasan al-Kabira. Langkah ini berhasil memperlambat laju pasukan pendudukan, serta menyebabkan kerugian besar di barisan militer dan kendaraan tempur mereka.

Menurut Al-Falahi, serangan pasukan Israel jarang dilakukan dari satu arah saja. Biasanya, mereka mencoba menyerang dari berbagai jalur sekaligus, memaksa pejuang perlawanan menyebar di area yang luas. Namun, strategi perlawanan mampu mengatasi tantangan ini dengan mengandalkan kelompok-kelompok kecil beranggotakan tiga hingga empat pejuang, yang memungkinkan mereka melakukan operasi taktis yang sangat efektif, khususnya di Abasan al-Kabira.

Ia menambahkan bahwa area ini sangat dekat dengan zona penyangga yang selama ini dijaga pasukan pendudukan. Meskipun Israel tidak sepenuhnya mundur, perlawanan berhasil melancarkan serangkaian operasi di “belakang garis musuh”, yang mengejutkan dan menimbulkan kepanikan.

Pada Senin pagi, Saraya Al-Quds, sayap militer Jihad Islam Palestina, mengumumkan keberhasilan mereka menghancurkan tank Merkava dan buldoser D9 milik Israel di timur Khan Younis. Operasi penghancuran tank tersebut dilaksanakan bersama dengan Brigade Al-Qassam (sayap militer Hamas), menggunakan bom pinggir jalan jenis “Tsaqib” yang dikenal memiliki daya penetrasi tinggi.

Al-Falahi menegaskan bahwa perang di Gaza sejatinya telah “menghabiskan tujuannya”, namun tetap dilanjutkan oleh elite politik Israel yang keras kepala, meski menanggung biaya yang sangat mahal.

Menurutnya, perang ini telah berubah menjadi perang pengurasan yang menggerogoti kekuatan militer Israel, baik dari segi personel maupun peralatan. Israel gagal meraih kemenangan militer maupun politik yang dijanjikan. Bahkan, kini pasukan pendudukan terpaksa menggunakan peralatan lama dan mengalami tekanan hebat, baik dari dalam negeri maupun komunitas internasional.

“Selama tak ada perubahan dalam metode pertempuran maupun strategi, maka mustahil tercapai hasil yang berbeda,” kata Al-Falahi. Ia menjelaskan bahwa doktrin militer Israel didasarkan pada perang kilat, bukan perang panjang dan berlarut-larut.

Laporan terbaru juga menyebutkan bahwa ribuan tentara Israel telah terdampak (antara tewas, terluka, atau menderita gangguan psikologis) yang pasti berujung pada turunnya moral tempur dan kinerja pasukan di lapangan.

Pada Ahad kemarin, Radio Tentara Israel mengonfirmasi tewasnya 30 perwira dan tentara sejak Israel melanjutkan agresinya pada 18 Maret lalu, 21 di antaranya tewas akibat ranjau dan bom.

Sementara itu, koran Haaretz melaporkan bahwa 20 tentara Israel tewas hanya dalam bulan ini.

Sumber: Al Jazeera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here