Spirit of Aqsa– Sudah lebih dari enam bulan anak-anak di Gaza tidak bersekolah. Sejak serangan brutal Israel ke Gaza pada 7 Oktober 2023, hampir semua sekolah hancur dan ratusan siswa tidak bisa bersekolah.
Per November 2023, Kementerian Pendidikan Palestina menangguhkan tahun ajaran 2023-2024 imbas serangan brutal Israel yang merusak permukiman, perkantoran, dan sekolah.
Berdasarkan data pemerintah setempat, sekitar 281 sekolah negeri dan 65 sekolah yang berafiliasi dengan Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi (UNRWA) telah dibom dan dirusak.
Kemudian 29% gedung sekolah juga tidak dapat dioperasikan karena hancur total. Sementara 133 sekolah negeri, telah digunakan sebagai pusat perlindungan di Jalur Gaza.
Kondisi ini membuat siswa di Palestina baru bersekolah lagi pada semester kedua. Sementara 55 sekolah akan beralih ke e-learning.
Anak-anak di Gaza Merindukan Sekolah
Selain kehancuran, laporan Kementerian Kesehatan di Gaza per 9 Januari 2024, menyatakan bahwa lebih dari 10.000 anak telah terbunuh oleh serangan udara dan operasi darat Israel di Gaza sejak Oktober 2023.
Angka tersebut belum termasuk ribuan lainnya yang hilang dan diperkirakan terkubur di bawah reruntuhan, sebagaimana dikutip dari situs Save the Children.
Kondisi ini membuat banyak anak mengalami trauma. Terutama karena mereka masih bisa menatap sekolah yang hancur di depan mata.
Banyak dari anak-anak mengingat peristiwa suram akan pendidikan dan teman sebaya mereka sejak serangan brutal melanda Gaza.
Seorang siswa kelas lima, Abed al-Qara, mengingat bagaimana masa-masa sekolah berlangsung. Mulai dari jalan-jalan di sekolah saat jam istirahat hingga saat di ruang kelas.
“Kami akan keluar saat jam istirahat. Kami (juga) akan pergi ke kelas dan berjalan-jalan,” ucapnya yang sedang memeriksa kerusakan bersama temannya Muhammad al-Fajem di selatan Jalur Gaza, dikutip dari Reuters.
“Dia (pendidik) akan memberi kami buku-buku. Kami akan pergi ke sana (kelas) dan melihat siapa yang datang dan pergi; kami (juga) akan berdiri di gerbang sekolah. Kami (merasa) hidup,” kenang siswa berusia 10 tahun tersebut.
Kini, ia hanya bisa melihat bangunan yang penuh peluru. Kertas-kertas berserakan di ruang kelas yang hancur, dengan poster robek dari dinding dan buku-buku rusak.
Harapan Guru di Gaza
Kenangan akan pendidikan juga datang dari seorang guru di Palestina bernama Muhammad al-Khudari.
Dalam laporan Reuters, ia mengenang sambil duduk di atas puing-puing dan menulis di selembar kertas. Ia juga merefleksikan reruntuhan sistem pendidikan dalam skala luas, di semua tingkatan, dari taman kanak-kanak hingga universitas.
“Kami menyerukan kepada semua orang untuk memperhatikan proses pendidikan (di Gaza), dan mengembalikan pendidikan seperti sebelum perang,” kata al-Khudari.
Meski begitu, beberapa orang seperti siswa kelas lima Muhammad al-Fajem, tidak putus asa. Ia akan terus belajar, bagaimanapun kondisinya.
“Kami akan mendirikan tenda dan kami akan belajar di tenda. Berapapun biayanya, kami akan belajar di sana. Ini adalah ruang kelas kami,” ujarnya.
“Lihat ruangan kepala sekolah. Dia biasa membawakan kami buku dan permen. Dia akan memberi kami segalanya. Dia akan memberi kita mainan,” tutur al-Fajem.
Sampai saat ini, siswa-siswa muda di Gaza yang lapar untuk belajar telah bertanya-tanya: apakah mereka akan mampu mengemas buku-buku mereka dan kembali ke sekolah lagi?