Spirit of Aqsa- Di atas kasur lantai di sebuah kamar yang penuh sesak dengan korban terluka di Rumah Sakit Syifa, seorang gadis kecil berusia 10 tahun bernama Dima terbaring dengan tubuh yang tampak utuh.
Saat membuka matanya, ibunya berlari mendekat dan bertanya, “Apakah kamu bisa melihatku, Dima?” Dima menjawab dengan bingung, “Aku melihat sesuatu berwarna merah. Apakah kamu memakai baju merah, Bu?” Sang ibu, mengenakan pakaian hitam, mengiyakan dengan penuh kekecewaan, lalu menutupi wajahnya dan menangis.
Tim Al Jazeera mendekati ibu Dima, yang menjelaskan bahwa pecahan peluru telah mengenai bagian otak anaknya di pusat penglihatan setelah rumah mereka di Jabalia dihantam oleh artileri Israel. Saat itu, ledakan mengagetkan mereka, dan suaminya ditemukan berlumuran darah di antara korban yang syahid.
Lebih dari satu jam setelah serangan di daerah yang terkepung, sebuah gerobak hewan tiba untuk mengangkut korban dan terluka ke Rumah Sakit Kamal Adwan, dan ibu Dima mengejar gerobak itu sambil membawa ketiga anaknya.
Sistem Triase
Karena rumah sakit penuh sesak, ibu Dima menghabiskan waktu satu jam mencari putrinya di setiap sudut bangsal hingga menemukannya di sudut, berdarah dan menggigil. Selama beberapa hari di rumah sakit, Dima belum menerima perawatan karena keterbatasan tenaga medis. Dokter menerapkan “sistem triase,” yang memprioritaskan pasien dengan cedera paling parah dan kemungkinan untuk diselamatkan. Meski ibu Dima memohon, dokter menyatakan bahwa Dima membutuhkan CT scan dan ahli bedah saraf yang tidak tersedia di Gaza.
Dima membutuhkan operasi segera untuk mengeluarkan pecahan peluru yang bisa memicu kejang jika bergeser. Waktu semakin habis, dan harapan agar penglihatannya terselamatkan makin menipis.
Tak lama, rumah sakit tersebut juga dikepung, dan tembakan meriam serta peluru mulai menggempur. “Kaca pecah menimpa suamiku dan Dima yang tidak sadarkan diri,” ungkap ibu Dima. Setelah beberapa saat, tim asing tiba dan mengevakuasi mereka ke Rumah Sakit Syifa.
Hari Terburuk
Perjalanan dari Rumah Sakit Kamal Adwan ke Syifa yang biasanya hanya memakan waktu 10 menit, berlangsung lebih dari 5 jam karena tiga pos pemeriksaan Israel yang membuat ambulans terhenti tanpa alasan. Di pos pemeriksaan, tentara Israel kerap mengeluarkan ejekan dan mempermalukan para korban, termasuk memaksa seorang gadis untuk melepas hijabnya dan memotretnya dengan ejekan.
Suami Dima, Samih, yang kakinya diamputasi akibat luka, menceritakan bahwa saat berada di rumah sakit, tentara Israel memaksa 150 pasien dan 80 staf medis turun ke lantai dasar hanya dalam waktu 10 menit. Mereka mengancam akan menembak siapa saja yang tertinggal di lantai atas.
Samih, yang baru menjalani amputasi, diangkut ke lantai dasar oleh perawat sambil menahan nyeri yang tak tertahankan akibat luka yang mulai terinfeksi. “Itu adalah hari terburuk dalam hidup saya,” ujarnya, mengingat saat ia diancam dan dipaksa mengangkat tangan oleh tentara Israel.
Setelah mundurnya pasukan Israel, Samih menggambarkan kehancuran di rumah sakit yang dibakar, ambulans yang hancur, dan peralatan medis yang dirusak. Relawan datang untuk membersihkan rumah sakit dan merawat korban dengan peralatan seadanya.
Kenangan Menyakitkan
Di antara korban yang selamat dari pengepungan Rumah Sakit Kamal Adwan, terdapat seorang anak laki-laki bernama Muhammad Abdul Aal (12 tahun) yang kehilangan seluruh keluarganya. Setelah operasi darurat tanpa anestesi, Muhammad terus meratap, “Aku ingin pulang ke rumah.” Neneknya yang berusia lanjut hanya bisa mendampinginya dengan penuh kesedihan.
Di ranjang lain, seorang ibu bernama Iman Farham terbaring dengan luka bersama putranya yang berusia empat tahun, tanpa pendamping lain. Selama di Kamal Adwan, anaknya meninggal akibat luka di kepala. “Tidak ada rasa yang lebih menyakitkan daripada seorang ibu yang harus kehilangan anaknya di tangannya sendiri,” kata Iman.
Kondisi Rumah Sakit yang Kritis
Di Rumah Sakit Kamal Adwan kini hanya tersisa dua dokter anak, tanpa tenaga medis spesialis lainnya. Direktur rumah sakit, Dr. Hossam Abu Safiya, menyatakan bahwa “rumah sakit ini sudah kolaps.” Semua pasien dalam kondisi kritis, dan sumber daya medis hampir habis.
Dr. Abu Safiya mendesak dunia internasional untuk segera mengirimkan tim medis dan bantuan ke Gaza sebelum segalanya terlambat. “Kami telah memohon kepada lembaga internasional, tapi tak ada yang merespons,” ucapnya, mengimbau jurnalis dan media untuk menyoroti krisis kemanusiaan ini di Gaza.