Spirit of Aqsa- Keluarga para tawanan Israel yang ditahan di Gaza oleh Hamas pada Selasa (2/4/2024) mengecam Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netantahu sebagai pengkhianat. Kemarahan mereka terhadap penanganan perang oleh Netanyahu meningkat dalam protes massal malam keempat berturut-turut tersebut.

Ribuan orang berkumpul di depan parlemen Israel, dengan keluarga para tawanan dan mantan Perdana Menteri Ehud Barak menyalahkan Netanyahu atas “bencana” 7 Oktober dan menuntut diadakannya pemilu.

“Anda adalah firaun, pembunuh anak sulung saya. Sebanyak 240 orang diculik di bawah pengawasan Anda. Ini adalah kesalahan Anda,” kata Einav Zangauker, yang putranya, Matan, menjadi salah satu dari 134 orang yang masih ditahan di Gaza.

Ia menyebut, Pemerintahan Netanyahu telah gagal mengantisipasi serangan Hamas pada 7 Oktober dengan segala cara. “Dan sekarang Anda menjadi penghalang bagi kesepakatan pembebasan sandera,” ucapnya, sebagaimana dikutip dari AFP.

Keluarga para tawanan sangat marah kepada Netanyahu, yang menurut mereka tidak benar-benar mendorong pembebasan mereka.

Mereka bersekutu dengan para pengunjuk rasa anti-pemerintah, yang berdemonstrasi selama sembilan bulan pada tahun lalu untuk menggagalkan reformasi yudisialnya yang kontroversial karena kekhawatiran mengancam demokrasi.

Pada demonstrasi hari Selasa di depan parlemen, beberapa keluarga menuduh pemimpin terlama di Israel itu mencoba menggunakan perang untuk memperpanjang kekuasaannya.

Merav Svirsky, yang kehilangan kedua orangtuanya dalam serangan Hamas, dan saudara laki-lakinya kemudian dibunuh di Gaza, mengatakan Netanyahu tidak terburu-buru untuk membebaskan para sandera.

“Tugas dasar negara adalah memastikan kembalinya mereka yang diculik. Saya naif, saya tidak menyadari bahwa perdana menteri kami tidak tertarik untuk membawa mereka kembali karena pertimbangan politik,” katanya.

3.000 pengunjuk rasa datangi rumah Netanyahu

Mantan perdana menteri Barak mengatakan jika Netanyahu melancarkan serangan darat ke Rafah, para sandera akan kembali dalam peti mati. Dia menyerukan pemilihan umum yang cepat, dengan mengatakan “orang yang bertanggung jawab” atas bencana ini harus “disingkirkan dari kemudi”.

Zangauker mengatakan bahwa Netanyahu telah mencoba untuk menyalahkan keluarga para sandera karena melakukan protes ketika negara sedang berperang.

“Anda menyebut kami pengkhianat, padahal Anda lah yang pengkhianat, pengkhianat bagi rakyat Anda, pengkhianat bagi Negara Israel,” ucap dia.

Sekitar 3.000 pengunjuk rasa kemudian berbaris ke kediaman Netanyahu untuk meneriakkan slogan-slogan yang menuntut dia untuk mengundurkan diri, dan polisi mengatakan bahwa beberapa “perusuh” mencoba merobek-robek penghalang di luar.

Petugas berkuda merangsek masuk ke dalam kerumunan untuk menghentikan mereka menerobos masuk.

Warga Israel Turun Lagi ke Jalan, Protes Pemerintahan Netanyahu

Sebelumnya Ribuan warga Israel kembali turun ke jalan di Al-Quds, Senin (1/4/2024) sebagai bentuk protes pada pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Demo anti-pemerintah untuk melanjutkan unjuk rasa tiga hari tersebut juga untuk menuntut adanya pemilu yang baru.

Hal itu sebagai bentuk protes warga karena semakin meningkatnya perang di Gaza mendekati akhir bulan keenamnya. Selain itu juga sebagai bentuk kemarahan terhadap penanganan pemerintah terhadap pembebasan 134 sandera Israel yang masih ditahan oleh kelompok Hamas di Gaza.

“Kami di sini untuk melakukan protes. Untuk meminta diadakannya pemilu sesegera mungkin. Kami merasa sudah mencapai batasnya. Kami benar-benar harus menyingkirkan Bibi,” kata Timna Benn, seorang pengunjuk rasa yang menggunakan nama panggilan Netanyahu menjadi Bibi.

Dikutip dari Reuters pada Selasa (2/4/2024), koalisi sayap kanan Netanyahu menghadapi beberapa protes terbesar dalam sejarah Israel tahun lalu.

Yakni ketika ratusan ribu orang bergabung dalam demonstrasi mingguan menentang rencana perombakan kekuasaan Mahkamah Agung, yang oleh para pengunjuk rasa dianggap sebagai serangan terhadap pondasi demokrasi Israel.

Netanyahu telah berulang kali mengesampingkan pemilu dini, yang menurut jajak pendapat menunjukkan dia akan kalah, dan mengatakan bahwa melakukan pemilu di tengah perang hanya akan menguntungkan Hamas.

PM Israel itu juga telah berjanji untuk membawa pulang para tawanan dan menghancurkan Hamas. Namun setelah berbulan-bulan ketika krisis di Gaza membuat aturan normal dalam politik tertahan, Netanyahu menghadapi oposisi yang semakin vokal.

Survei menunjukkan bahwa sebagian besar warga Israel menyalahkan Netanyahu, Perdana Menteri Israel yang paling lama menjabat yakni atas kegagalan dalam hal keamanan yang menyebabkan serangan Hamas terhadap komunitas di Israel selatan pada 7 Oktober 2023.

“Mereka tidak peduli dengan apa yang terjadi di negara ini dan rakyatnya. Mereka hanya memikirkan bagaimana mempertahankan posisi mereka di pemerintahan,” ungkap pengunjuk rasa, Refael Shakked-Gavish.

“Mereka bekerja untuk diri mereka sendiri, bukan untuk rakyat. Sesederhana itu,” imbuh dia.

Yang lebih rumit lagi, Netanyahu juga menghadapi protes dari para demonstran Yahudi ultra Ortodoks, yang marah atas penghapusan pengecualian yang menghalangi pelajar muda dari seminari agama untuk mengikuti wajib militer.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here