Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menolak rencana Israel yang ingin mengontrol pengiriman bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menegaskan bahwa badan dunia tersebut tidak akan ikut serta dalam mekanisme distribusi bantuan yang tidak mematuhi prinsip-prinsip kemanusiaan, integritas, independensi, dan netralitas.
Guterres menyebut mekanisme yang diajukan otoritas Israel berisiko memperburuk pembatasan bantuan hingga ke titik ekstrem, dengan mengatur setiap kalori dan butir tepung yang masuk. Ia menegaskan bahwa bantuan harus bisa mengalir tanpa hambatan, dan pekerja kemanusiaan wajib mendapatkan perlindungan sesuai hukum internasional.
Juru bicara PBB, Stéphane Dujarric, menambahkan bahwa organisasi itu tidak akan terlibat dalam skema yang memaksanya melanggar prinsip-prinsip dasarnya, dan menekankan bahwa sebagai kekuatan pendudukan, Israel berkewajiban untuk menjamin masuknya bantuan ke Gaza. Ia juga menyatakan bahwa PBB terus berdialog dengan Israel untuk membuka akses bantuan, dan menyerukan solusi nyata seperti gencatan senjata.
Di pihak Palestina, Kantor Media Pemerintah Gaza turut menolak mekanisme distribusi yang diusulkan Israel, yang menyerahkan penyaluran bantuan langsung ke tangan tentara Israel atau perusahaan swasta di bawah kendali mereka. Skema ini dinilai berbahaya karena memaksa warga sipil datang ke titik distribusi yang rawan diserang.
Sejak 2 Maret lalu, militer Israel menghentikan masuknya kebutuhan pokok ke Gaza dengan menutup semua jalur perlintasan, menyebabkan bencana kemanusiaan dan memperburuk krisis kelaparan. Gaza kini memasuki tahun ke-18 dalam kondisi blokade, dan sekitar 1,5 juta dari total 2,2 juta penduduknya kehilangan tempat tinggal akibat kehancuran yang ditimbulkan agresi Israel.
Sejak dimulainya kembali serangan besar-besaran pada 18 Maret 2025, Kementerian Kesehatan Gaza mencatat 1.449 warga Palestina gugur dan 3.647 lainnya terluka, mayoritas anak-anak dan perempuan.
Secara keseluruhan, sejak 7 Oktober 2023, lebih dari 166 ribu warga Palestina menjadi korban tewas dan luka-luka dalam genosida yang terus berlangsung dengan dukungan penuh Amerika Serikat.