Dua analis sepakat bahwa Israel menghadapi krisis internal yang belum pernah terjadi sebelumnya setelah menerima jenazah empat tawanan Israel. Situasi ini semakin memperburuk kritik terhadap pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu serta memperdalam perpecahan terkait masa depan negosiasi perjanjian Gaza.
Pakar urusan Israel, Muhannad Mustafa, dan analis militer serta strategis, Brigadir Elias Hanna, menilai bahwa kondisi saat ini mencerminkan perubahan mendalam dalam masyarakat Israel dan meningkatnya krisis kepercayaan di antara institusi-institusi negara.
Dalam program Masar Al-Ahdath, Mustafa mengatakan, “Masyarakat Israel tidak terbiasa melihat jenazah tawanan sipil yang dipulangkan dalam peti mati. Ini adalah pertama kalinya dalam sejarah Israel terjadi hal semacam ini, yang menjadi pukulan besar bagi masyarakat.”
Menurut Mustafa, pemulangan seluruh anggota keluarga Bibas dalam peti mati memicu kemarahan yang besar, terutama setelah laporan mengungkapkan bahwa mereka sebenarnya bisa diselamatkan melalui negosiasi yang justru dihambat oleh Netanyahu.
Sementara itu, Hamas secara resmi menuduh tentara Israel telah membunuh tiga anggota keluarga Bibas serta Oded Lipschitz. Hamas menegaskan bahwa pihak perlawanan telah berupaya sebaik mungkin untuk menjaga nyawa para tawanan, namun Israel justru membunuh mereka bersama para penculiknya dengan membombardir tempat mereka ditahan.
Sebagai bagian dari serah terima jenazah, perlawanan Palestina menempatkan setiap jenazah tawanan Israel dalam peti mati hitam yang diberi foto, nama, serta tanggal penangkapan dan kematian mereka. Palang Merah kemudian mengangkut peti-peti tersebut menggunakan kendaraan khusus ke wilayah Israel.
Kegagalan Ganda
Brigadir Hanna menilai bahwa Israel mengalami kegagalan ganda, baik secara militer maupun politik. “Strategi kekuatan militer gagal dalam membebaskan tawanan, sementara kepemimpinan politik gagal mengelola isu ini secara diplomatis,” ujarnya.
Kedua analis juga mencermati perpecahan di dalam masyarakat Israel. Kelompok pertama, yang dipimpin Netanyahu, mendorong tindakan balas dendam dan eskalasi militer sebagai upaya mengonsolidasikan dukungan dan menghindari pertanggungjawaban atas kegagalan serangan 7 Oktober 2023.
Kelompok kedua, yang dipimpin keluarga para tawanan, melihat krisis ini sebagai kesempatan untuk memperbaiki tatanan sosial Israel dan mereformasi institusi negara, dengan fokus pada jalur negosiasi untuk menyelamatkan tawanan yang masih hidup.
Dalam respons resmi yang beragam, Presiden Israel Isaac Herzog menyatakan penyesalannya atas kegagalan pemerintah dalam “melakukan apa yang seharusnya untuk memulangkan tawanan dengan selamat.” Di sisi lain, Netanyahu menyebut peristiwa ini sebagai “momen yang sulit, menyedihkan, dan mengejutkan bagi Israel.” Namun, ia secara tiba-tiba membatalkan kehadirannya dalam upacara penerimaan jenazah, yang semakin memperkuat tuduhan bahwa ia mengorbankan para tawanan demi kepentingan politiknya.
Ketiadaan Akuntabilitas
Terkait dampak dari absennya akuntabilitas, Mustafa menegaskan bahwa “hilangnya budaya pertanggungjawaban merupakan perubahan berbahaya dalam politik Israel. Sebelumnya, Israel selalu membentuk komisi penyelidikan segera setelah mengalami kegagalan, seperti setelah Perang Oktober 1973.”
Namun, Netanyahu berupaya keras untuk mencegah pembentukan komisi penyelidikan resmi dan justru mengalihkan kemarahan publik ke pihak luar demi menghindari tanggung jawabnya.
Sementara itu, Hanna menyoroti perubahan besar di dalam militer Israel, termasuk gelombang pengunduran diri pejabat tinggi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Mustafa juga mencatat bahwa mayoritas perwira menengah kini berasal dari kalangan Zionis religius, yang mencerminkan perubahan ideologi dalam tubuh militer.
Survei yang dilakukan Channel 12 Israel menunjukkan bahwa 68% warga Israel lebih memilih pemulangan tawanan, bahkan jika itu berarti Hamas tetap berkuasa.
Dalam konteks ini, kedua analis memperingatkan bahwa Netanyahu kemungkinan akan menghambat fase kedua negosiasi demi melindungi kepentingan politiknya dan menjaga stabilitas koalisi pemerintahannya.
Sumber: Al Jazeera