Di Gaza, bantuan bukan lagi harapan. Ia menjelma jebakan maut. Pagi berdarah di Rafah kembali menyayat nurani dunia. Puluhan warga Palestina—anak-anak, perempuan, dan orang tua—gugur syahid saat hanya ingin mengantre sekantong tepung di pusat bantuan yang dijalankan Amerika Serikat.
Mereka tidak membawa senjata. Hanya harapan. Tapi yang mereka terima adalah tembakan ke arah kepala dan dada dari tentara pendudukan. Puluhan syahid, lebih dari seratus luka. Dunia? Masih memilih diam.
Video-video dari lokasi memperlihatkan tubuh-tubuh tergelatak di tanah. Jeritan minta tolong terdengar di tengah antrean panjang warga kelaparan. Di antara mereka ada seorang pria yang sempat diwawancarai jurnalis sebelum akhirnya syahid. “Anak-anak saya kelaparan,” katanya lirih. Beberapa jam kemudian, ia meninggal dalam kondisi perut kosong. Anak-anaknya tetap kelaparan. Mereka tak punya siapa-siapa. Kecuali kita.
Warganet menyebut ini bukan lagi distribusi bantuan, tapi proyek pembantaian yang didesain rapi: mengumpulkan orang lapar ke satu titik, lalu menembaki mereka. Didanai, dijaga, dan disahkan oleh kekuatan global.
Di satu rumah, tiga perempuan syahid. Dua lainnya terluka parah. Mereka semua adalah istri para syuhada—keluar hanya untuk mencari makanan bagi anak-anaknya. Tapi pulang dengan kafan.
Sejak Mei, Israel meluncurkan distribusi bantuan lewat lembaga pro-pendudukan yang ditolak PBB. Di balik bendera kemanusiaan, tersimpan agenda kelaparan massal dan pengusiran sistematis. Sudah 90 hari bantuan kemanusiaan diblokir total. Gaza dibiarkan kelaparan, lalu disalahkan karena berusaha bertahan.
Hari ini, Gaza tak hanya butuh makanan. Ia butuh dunia yang tidak buta. Ia butuh kita.