Tiga peluru sniper Israel mengakhiri masa remaja Wadi’ Hamdan, pemuda 18 tahun dari Desa At-Tabaqah, selatan Tepi Barat. Saat ia berdiri di halaman rumah, tembakan itu menghantam pahanya dan mengubah seluruh hidupnya. Sejak amputasi kakinya pada Oktober lalu, ia bergabung dengan puluhan ribu warga Palestina lain yang kini hidup dengan disabilitas akibat kekerasan pendudukan.
Wadi’ bercerita kepada Al Jazeera Arabic bahwa ia meninggalkan sekolah lebih awal demi membantu ayahnya bekerja di sektor konstruksi dan mulai merintis masa depan. Namun, peluru yang menembus tubuhnya mematahkan semua rencana. Dari pemuda kuat yang menjadi sandaran keluarga, ia kini berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Satu harapan tersisa: menemukan bantuan untuk mendapatkan kaki prostetik agar beban keluarganya sedikit berkurang.
Ayahnya, Samir Hamdan, mengaku tak sanggup melihat kondisi putranya. Ia kehilangan anak yang selama ini menjadi tulang punggung, sementara ia sendiri tak mampu membiayai pengadaan kaki buatan. “Ada ribuan warga Palestina lain yang ditembak tanpa alasan,” ujarnya.
Angka yang Terus Meningkat
Dalam pernyataan memperingati Hari Internasional Penyandang Disabilitas, Federasi Palestina untuk Penyandang Disabilitas mengungkapkan bahwa sebelum agresi terbaru, jumlah penyandang disabilitas di Palestina telah melebihi 117 ribu orang, 59 ribu di Tepi Barat, sekitar 58 ribu di Gaza.
Di Gaza, situasinya jauh lebih berat. Warga difabel hidup dalam kekurangan makanan, air, obat-obatan, serta kehilangan alat bantu kehidupan sehari-hari seperti kursi roda, alat bantu dengar, dan perangkat penglihatan. Sementara di Tepi Barat, akses mereka terhadap layanan dasar semakin terhambat akibat operasi militer Israel, khususnya di wilayah utara.
Federasi menyerukan agar penyandang disabilitas dilibatkan dalam perencanaan program bantuan dan pemulihan awal, terutama di Gaza dan wilayah utara Tepi Barat. Mereka juga mendesak pemerintah untuk segera mengesahkan regulasi baru tentang hak-hak penyandang disabilitas, termasuk kebijakan pembebasan bea alat bantu, serta menjamin hak penyandang disabilitas yang berasal dari keluarga syuhada, tahanan, dan para korban luka.
Sebelumnya, keputusan presiden pada Februari lalu menghapus seluruh tunjangan bagi keluarga syuhada, tahanan, dan korban luka, dan menyerahkan penilaian kasus mereka kepada lembaga penanggulangan kemiskinan.
Disabilitas Akibat Tembok dan Militerisasi
Sekretaris Jenderal Federasi Palestina untuk Penyandang Disabilitas, Majdi Mar’i, menegaskan bahwa peningkatan jumlah penyandang disabilitas di Tepi Barat berkaitan erat dengan penembakan saat penggerebekan maupun kecelakaan yang terjadi ketika pekerja Palestina mencoba melintasi tembok pemisah untuk mencari nafkah.
Banyak pekerja mengalami amputasi atau cedera permanen akibat jatuh dari tembok, dikejar tentara, atau ditembak ketika mencoba menyeberang. Dalam dua tahun terakhir, sekitar 250 orang mengalami disabilitas permanen karena insiden seperti ini.
Mar’i menjelaskan bahwa sebagian besar korban menjalani perawatan di rumah sakit pemerintah, namun proses rehabilitasi dan penyediaan alat bantu hampir sepenuhnya menjadi beban keluarga atau organisasi kemanusiaan. Ia mendesak pemerintah memberikan perlindungan dan jaminan kesehatan bagi para pekerja yang mempertaruhkan keselamatan demi menafkahi keluarga mereka.
Gaza: Ledakan Cedera Berat
Badan Pusat Statistik Palestina mencatat lonjakan cedera serius di Gaza, banyak di antaranya berubah menjadi disabilitas permanen. Hal ini diperparah oleh keruntuhan sistem kesehatan, kurangnya suplai obat, dan hilangnya fasilitas rehabilitasi.
Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan bahwa sekitar 42 ribu warga Gaza kini mengalami cedera berat yang “mengubah hidup” dan membutuhkan rehabilitasi jangka panjang. Cedera paling umum meliputi amputasi, luka bakar besar, cedera pada tulang belakang dan otak, serta trauma ekstrem yang menghilangkan fungsi gerak dan sensorik.
Lebih dari 22 ribu orang mengalami cedera besar pada anggota tubuh, termasuk lebih dari 5 ribu amputasi, lebih dari 3.400 luka bakar berat, dan lebih dari 2.000 cedera tulang belakang. Sekitar seperempat korban dengan cedera berat adalah anak-anak, diperkirakan mencapai 10 ribu anak.
Layanan rehabilitasi disebut menurun hingga 62 persen akibat kehancuran fasilitas dan kurangnya peralatan medis.
Sumber: Al Jazeera









