Spirit of Aqsa- Sedikitnya 30 warga Palestina syahid dan lebih dari 120 lainnya terluka, setelah pasukan Israel melepaskan tembakan ke arah kerumunan warga yang tengah menunggu bantuan kemanusiaan di barat Rafah, Ahad pagi (1/6).

Laporan jurnalis Al Jazeera dan keterangan resmi dari kantor media pemerintah di Gaza menyebutkan, korban berasal dari lokasi distribusi bantuan kemanusiaan Amerika-Israel yang dijanjikan akan dibagikan kepada penduduk kelaparan di wilayah tersebut.

Dalam pernyataan resminya, kantor media pemerintah menegaskan bahwa “pendudukan kembali melakukan pembantaian terhadap warga sipil yang berkumpul di titik distribusi bantuan”. Mereka menuduh Israel terus melanjutkan rencana genosida melalui senjata kelaparan.

Titik Bantuan Berubah Jadi Ladang Pembantaian

Dalam waktu kurang dari sepekan, jumlah korban syahid dari serangan di lokasi bantuan telah mencapai 39 orang, dengan lebih dari 220 luka-luka. Pemerintah Gaza menyebut lokasi distribusi bantuan kini telah berubah menjadi perangkap maut, di mana bantuan dijadikan alat perang dan warga yang kelaparan dijadikan sasaran tembak.

“Israel dan Amerika Serikat bertanggung jawab penuh atas pembantaian ini,” tegas pernyataan tersebut. Bantuan yang seharusnya menyelamatkan justru dijadikan kedok untuk melakukan pembunuhan massal.

Pemerintah Gaza mendesak PBB dan Dewan Keamanan segera bertindak. Mereka menyerukan pembukaan semua perlintasan bantuan tanpa syarat, serta pembentukan tim penyelidik internasional independen untuk mendokumentasikan kejahatan ini.

Janji Palsu dan Penembakan Brutal

Jurnalis Al Jazeera, Ashraf Abu Amra, melaporkan langsung dari Deir al-Balah bahwa tentara Israel terus menembaki warga yang berjalan menuju pusat bantuan. Ia menyebut pasukan penjajah menggunakan tipu daya, dengan menyebarkan informasi palsu bahwa distribusi bantuan dimulai pukul enam pagi. Warga yang kelaparan pun berbondong-bondong datang—namun disambut peluru tajam di kepala dan tubuh bagian atas.

Warga yang selamat berusaha menyelamatkan korban dengan peralatan seadanya. Setidaknya 15 orang mengalami luka kritis, dan banyak dari mereka kini bertarung antara hidup dan mati. Ironisnya, bantuan yang diperebutkan itu hanya cukup memberi makan satu keluarga selama tiga hari.

Dr. Uday Dabour, direktur tim medis di Gaza Relief Association, mengatakan bahwa rumah sakit telah kewalahan menangani jumlah korban. Dengan pasokan medis yang nyaris habis, mereka nyaris tak mampu menangani gelombang korban yang terus berdatangan.

Kelaparan Terencana, Dukungan Amerika Tanpa Batas

Menurut PBB, kelaparan yang kini melanda Gaza merupakan bagian dari kebijakan sistematis yang bisa mengarah pada pemindahan paksa. Israel telah menutup akses bantuan selama 90 hari, membuat 2,4 juta warga Gaza masuk jurang kelaparan.

Sejak 27 Mei, bantuan mulai disalurkan melalui lembaga bentukan Israel-Amerika bernama Gaza Relief Foundation, yang tidak diakui PBB. Distribusi dilakukan di zona-zona yang disebut “area aman”, padahal berkali-kali menjadi lokasi penembakan brutal terhadap warga.

Program ini kini disebut gagal total, dengan operasi distribusi sering dihentikan akibat kerumunan massa kelaparan, yang kerap berakhir dengan tembakan maut dari militer Israel. Bantuan yang dibagikan pun sangat minim dan tak memenuhi kebutuhan ratusan ribu jiwa.

8 Bulan Genosida: 178 Ribu Korban, 11 Ribu Hilang

Sejak 7 Oktober 2023, dengan dukungan politik dan militer penuh dari Amerika Serikat, Israel telah melakukan genosida terbuka di Gaza. Hingga kini, lebih dari 178.000 warga Palestina gugur atau terluka, mayoritas anak-anak dan perempuan. Lebih dari 11.000 orang hilang, dan ratusan ribu lainnya mengungsi dalam kondisi mengenaskan.

Sumber: Al Jazeera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here