Di tengah kekejaman blokade Israel, Gaza kembali dihadapkan pada babak baru penderitaan: kelangkaan total susu bayi. Sudah empat bulan pasokan susu (baik formula biasa maupun susu terapeutik) dilarang masuk, mengancam nyawa ribuan bayi dan balita yang bergantung padanya untuk bertahan hidup.

Di Rumah Sakit Syuhada Al-Aqsha, kota Deir Al-Balah, seorang ibu, Um Yahya (38), duduk lemah memeluk salah satu dari bayi kembarnya. Sementara itu, sang adik masih terbaring di dalam inkubator karena berat badan rendah dan kondisi gizi buruk.

“Saya merasa seolah jantung saya terbelah dua. Saya tak tahu harus memberi mereka makan dengan apa,” keluhnya pilu.

Setelah bertahun-tahun berjuang untuk hamil, Um Yahya sempat merasa diberkahi saat mengetahui dirinya mengandung anak kembar. Namun perang telah merenggut kebahagiaannya. Ia harus menjalani operasi caesar darurat sebelum kehamilan genap delapan bulan karena tubuhnya yang lemah akibat malnutrisi parah. Kini, kedua bayinya nyaris tak memiliki akses pada susu formula yang sangat mereka butuhkan.

“Saya tidak bisa menyusui karena saya sendiri kelaparan,” ujarnya.

Susu formula nyaris hilang dari apotek dan pasar. Jika pun tersedia, harganya tak sanggup dijangkau keluarga pengungsi seperti mereka.

Kisah serupa dialami Asma Abu Jum’ah (38), yang juga melahirkan dalam kondisi darurat. Meskipun awalnya dapat menyusui bayi lelakinya, Yusuf, kini ia tak lagi mampu karena tubuhnya kekurangan nutrisi. Daging, telur, buah (semua bahan makanan penting bagi ibu menyusui) telah lama lenyap dari meja makan warga Gaza.

Krisis Gizi Mengancam Generasi Gaza

Menurut dr. Ahmad Al-Farra dari RS Nasser, semua rumah sakit dan lembaga kesehatan di Gaza kini sepenuhnya kehabisan susu bayi.

“Tidak ada lagi susu, baik jenis biasa maupun medis. Ini sangat berbahaya. Ribuan nyawa anak-anak terancam dalam hitungan jam,” tegasnya.

Al-Farra mencatat bahwa kini rumah sakit menerima rata-rata 10 kasus anak-anak penderita malnutrisi berat setiap hari, terutama bayi dan balita. Kondisi itu diperparah oleh gizi buruk ibu-ibu yang tak bisa menyusui.

“Kelaparan di usia dini tak hanya menimbulkan kematian atau penyakit, tapi juga kerusakan perkembangan otak dan mental yang menetap seumur hidup,” jelasnya.

Hingga kini, sudah 60 anak meninggal dunia karena kelaparan dan malnutrisi, dan angka itu terus meningkat.

Panggilan Darurat yang Diabaikan

RS Rantisi di Gaza City, yang selama ini melayani anak-anak, telah meluncurkan seruan mendesak minggu lalu.

“Kami tak punya satu kaleng susu pun,” kata pihak rumah sakit.

Padahal, mereka kedatangan puluhan bayi penderita malabsorpsi dan kekurangan gizi setiap harinya.

Sementara itu, Dr. Ismail Al-Thawabta dari Kantor Media Pemerintah Gaza menyatakan, “Anak-anak adalah korban paling rapuh dari genosida ini. Mereka tidak punya daya tahan menghadapi kelaparan dan penyakit.”

Ia mengecam blokade dan penutupan perlintasan bantuan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.

“Anak-anak dibiarkan menghadapi kematian perlahan. Tanpa makanan. Tanpa obat. Tanpa air bersih. Bahkan tanpa setetes susu. Ini bukan hanya kejahatan perang, ini genosida senyap,” tegasnya.

Dunia Harus Bertindak

Bayi-bayi Gaza kini bukan hanya berjuang untuk hidup, mereka berjuang untuk seteguk susu. Dan selama dunia tetap diam terhadap embargo susu yang mematikan ini, penderitaan generasi mendatang akan terus membusuk dalam sunyi, dalam diam, dalam ruang-ruang inkubator yang sepi.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here