Setelah lebih dari satu dekade berjuang di pengadilan, pengadilan Israel memutuskan bahwa pemukim Israel dapat mengambil alih rumah Salah Diab seumur hidup. Namun, Diab menolak meninggalkan rumahnya.
Majalah Israel 972 melaporkan keputusan pengadilan Israel yang memerintahkan pengusiran 22 anggota keluarga Diab dari properti mereka di Sheikh Jarrah, Yerusalem. Hakim menolak banding mereka terhadap putusan yang sebelumnya dikeluarkan oleh Pengadilan Perdamaian pada tahun 2022.
Laporan ini menyoroti perjuangan Salah Diab (53), seorang tokoh utama dalam protes di Sheikh Jarrah, yang dikenal sebagai pemimpin perlawanan terhadap upaya kelompok pemukim dan pemerintah Israel untuk mengubah demografi wilayah tersebut.
Tanpa Tempat Tinggal
Dalam waktu sekitar dua bulan, Salah Diab mungkin akan kehilangan tempat tinggalnya. Ia menegaskan, “Kami tidak menginginkan apartemen mewah atau uang jutaan. Kami hanya ingin tetap di rumah kami dan menjalani hidup kami. Mereka ingin mengusir seluruh lingkungan ini dan membangun rumah bagi para pemukim.”
Selama bertahun-tahun, keluarga Diab berhasil menunda pengusiran mereka, meskipun beberapa keluarga Palestina di Sheikh Jarrah telah terusir pada 2017 dan 2022. Puncak protes terjadi pada Mei 2021 sebagai bagian dari Intifada Kesatuan, ketika pengadilan Israel memutuskan untuk mengusir 13 keluarga demi pemukim.
Diab sendiri telah berulang kali berhadapan dengan sistem hukum Israel. Ia tidak lagi ingat berapa kali dirinya ditangkap selama aksi protes, tetapi memperkirakan jumlahnya antara 25 hingga 30 kali. Pada 2015, ia dipenjara selama lima bulan atas tuduhan palsu terkait penyerangan, dan dalam aksi protes tiga tahun lalu, polisi mematahkan kakinya. “Dengan semua yang telah saya lalui, rasanya saya sudah hidup seribu kali,” ujarnya.
Diskriminasi Hukum
Dalam beberapa tahun terakhir, kelompok pemukim seperti Nahalat Shimon menggunakan klaim bahwa tanah tersebut sebelumnya dimiliki oleh yayasan Yahudi sebagai dalih untuk merebut properti di Sheikh Jarrah.
Majalah 972 mencatat bahwa rumah-rumah di bagian Sheikh Jarrah ini dibangun pada masa pemerintahan Yordania (1948-1967), sebelum Israel menduduki Yerusalem Timur. Seharusnya, hukum Israel berpihak pada penduduk Palestina.
Diab menjelaskan bahwa orang tuanya berasal dari Jaffa, dan neneknya memiliki kafe di tepi laut. “Pemukim dan politisi Israel mengklaim bahwa tanah ini milik mereka karena dibeli pada abad ke-19. Jika begitu, mereka juga harus mengembalikan rumah kami di Jaffa, Haifa, dan Yerusalem Barat. Seorang Yahudi bisa menuntut kembali propertinya di mana saja, tapi kami tidak bisa. Ini adalah diskriminasi.”
Setelah putusan terakhir, Diab berencana mengajukan banding ke Mahkamah Agung Israel. Namun, ia harus membayar biaya hukum sekitar 5.500 dolar kepada Nahalat Shimon dan tambahan 22.000 dolar kepada kelompok pemukim berdasarkan putusan Pengadilan Perdamaian.
Perlawanan Lewat Protes
Diab tetap percaya bahwa aksi protes dapat mencegah lebih banyak pengusiran. Ia dengan bangga menyebut bahwa pengusiran di Sheikh Jarrah melambat sejak demonstrasi dimulai pada 2009. “Saya tidak peduli berapa banyak orang yang datang ke protes. Yang penting protes terus berlangsung,” katanya.
Pada Mei 2021, aksi-aksi di Sheikh Jarrah mendapat sorotan dunia, terutama ketika pemuda Palestina berkumpul setiap malam untuk menentang perintah pengusiran. Protes ini berujung pada tindakan represif polisi Israel dan kemarahan politisi sayap kanan.
Itamar Ben Gvir, yang kala itu menjabat sebagai Menteri Keamanan Nasional Israel sebelum mundur karena perjanjian gencatan senjata di Gaza, bahkan beberapa kali mendirikan “kantor parlemen” palsu di halaman rumah warga Palestina yang akan diusir.
Setelah “Badai Al-Aqsa”
Namun, setelah operasi Badai Al-Aqsa, protes mingguan di Sheikh Jarrah berhenti. “Otoritas Israel menutup semuanya. Saya khawatir ada pemukim yang akan datang dan menembaki kami semua,” kata Diab. “Saat ini, siapa pun yang berbicara tentang perdamaian, keadilan, atau kebenaran dianggap sebagai pengkhianat. Tidak adanya protes membantu otoritas dan pemukim melanjutkan agenda mereka secara diam-diam.”
Di tengah serangan Israel ke Gaza, kehidupan warga Palestina di Yerusalem semakin sulit. “Kami tidak boleh berbicara, tidak boleh memprotes para pencuri, pembohong, dan rasis. Tidak ada hukum di negara ini, seperti pada masa Nakba 1948, ketika pemukim mengambil kekuasaan dengan dukungan pemerintah dan polisi.”
Namun, Diab tetap berharap perlawanan bisa bangkit kembali. “Saya sering memikirkannya dan menunggu waktu yang tepat. Tapi yang paling penting, insyaallah, harus ada gencatan senjata total di Gaza. Tidak ada yang diuntungkan dari perang, kecuali industri senjata. Setiap tetes darah yang tumpah adalah kesia-siaan.”
Ke Tempat Sampah Sejarah
Pada 2018, saat Donald Trump menjabat sebagai Presiden AS, Diab khawatir pemerintah Israel akan kembali mengincar properti di Sheikh Jarrah dengan dukungan Washington. Kini, dengan kemungkinan Trump kembali ke Gedung Putih, ia yakin ancaman itu muncul lagi.
Setelah Trump secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, Diab menghadiri protes sambil mengibarkan bendera Palestina. “Mereka menyerang saya dan mengatakan itu tidak boleh. Saya merasa Amerika Serikat adalah mitra dalam pendudukan Israel. Sekarang, saya 1 juta persen yakin akan hal itu. Lihatlah apa yang terjadi di Jenin, Tulkarm, dan Hebron. Mereka berbicara tentang perdamaian, tetapi pada saat yang sama membunuh kami.”
Diab menyadari bahwa hasil terbaik dari banding keluarganya di Mahkamah Agung mungkin hanya berupa penundaan pengusiran. Namun, ia tetap optimistis. “Pada akhirnya, kami akan tetap di sini, dan penjajahan ini akan berakhir di tempat sampah sejarah.”
Sumber: Pers Israel