Spirit of Aqsa– Nihad Badreia, seorang guru Palestina yang saat ini mengungsi ke Rafah, kota paling selatan di Jalur Gaza, mendirikan “sekolah tenda” untuk sekitar 600 anak usia sekolah yang tinggal di sebuah kamp pengungsi.
Pembantaian di Jalur Gaza saat ini membuat para pelajar tidak dapat melanjutkan pendidikan mereka selama hampir tujuh bulan.
“Sangat sulit bagi para pelajar kami untuk melanjutkan pendidikan karena konflik. Mereka juga tidak dapat bertemu dengan teman sekelasnya, yang akan berdampak negatif pada kondisi psikologis mereka,” kata Badreia.
Yang lebih parah, mereka kadang terlibat dalam pertengkaran atau bahkan kekerasan, sebagian karena tekanan psikologis yang disebabkan oleh paparan perang yang berkepanjangan, imbuhnya.
Karena konflik mematikan tersebut belum terlihat ada tanda-tanda akan berakhir, anak-anak “jelas akan menderita akibat” krisis yang berkepanjangan ini, kata Badreia.
Matematika, Bahasa Arab, Sains, dan Al-Quran termasuk di antara kurikulum yang diajarkan.
Setelah meluncurkan kampanye penggalangan dana dan dengan bantuan Kementerian Pendidikan Palestina, mereka berhasil melanjutkan kegiatan sekolah untuk para pelajar.
“Meskipun peralatannya terbatas, saya sangat senang bisa kembali ke ruang kelas,” kata Neama Abu Hajjaj, seorang pelajar Palestina di kelas tujuh sekolah tersebut, kepada Xinhua.
“Sungguh luar biasa punyaguru baru, tetapi saya tidak tahu apakah guru saya sebelumnya masih hidup atau tidak,” kata Abu Hajjaj.
Ia mengungkapkan harapannya untuk kembali ke rumah, lingkungan, sekolah, dan kehidupan normal secepatnya.
Sampai saat itu tiba, katanya, “Saya akan menikmati kegiatan pendidikan saya saat ini.”
Kebahagiaan yang sama juga dirasakan Shahd al-Amasi, pelajar asal Jalur Gaza.
“Saya sangat senang bisa kembali ke sekolah dan menulis di buku catatan saya lagi. Saya merindukan pelajaran, teman, dan guru.”
“Meski saat ini belum mendapatkan sertifikasi apa pun, tetapi para pelajar akan tetap belajar hingga ada solusi permasalahan pendidikan di Gaza,” tuturnya.