Israel kembali melanjutkan agresinya ke Gaza dengan serangan udara besar-besaran pada Selasa dini hari. Serangan ini menyebabkan 500 lebih warga Palestina syahid dan 528 lainnya terluka, menjadikannya pelanggaran terbesar terhadap perjanjian gencatan senjata yang dimediasi oleh Qatar, Mesir, dan Amerika Serikat pada Januari lalu.
Menurut analis, keputusan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk kembali menyerang Gaza tidak terlepas dari dukungan kuat Washington.
Akademisi dan pakar urusan Israel, Dr. Muhannad Mustafa, menilai bahwa Netanyahu memanfaatkan dukungan AS untuk menekan Hamas agar menerima proposal gencatan senjata yang diajukan utusan AS, Steven Whitekoff, tetapi dengan syarat yang lebih menguntungkan Israel.
Strategi ini mencakup pembebasan separuh tawanan Israel pada hari pertama gencatan senjata dan sisanya di hari terakhir, dengan ketentuan bahwa Hamas menyetujui hasil politik yang diinginkan Israel. Namun, kebuntuan dalam negosiasi membuat Netanyahu memilih kembali ke jalur militer.
Peneliti senior Al Jazeera Centre for Studies, Dr. Liqaa Maki, menilai bahwa keputusan Netanyahu bukan hanya untuk menekan Hamas, tetapi juga untuk memperbaiki citranya di dalam negeri. Namun, ia memperingatkan bahwa strategi ini justru dapat berbalik merugikan Israel, terutama karena tidak ada jaminan bahwa serangan militer akan berhasil membebaskan tawanan Israel.
Sementara itu, mantan pejabat Departemen Luar Negeri AS, Thomas Warwick, mengungkap bahwa pemerintahan Donald Trump berupaya menjadikan serangan ini sebagai tekanan agar Hamas menyetujui perpanjangan gencatan senjata hingga perayaan Yahudi berakhir pada pertengahan April. Namun, hingga kini, belum ada indikasi bahwa strategi ini akan berhasil.
Wakil Ketua Parlemen Eropa, Younes Amragi, mengutuk serangan Israel dan menyebutnya sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Ia juga menyalahkan Amerika Serikat atas eskalasi ini dan menyerukan penghormatan terhadap perjanjian gencatan senjata serta pembebasan semua tawanan.