Di tenda kecil di pesisir Khan Younis, Ismail Abdul Ghafour menatap jauh ke arah timur, ke arah tempat yang dulu disebut “rumah.” Setiap dentuman dari kejauhan membuat jantungnya bergetar. Ia tahu, mungkin kali ini giliran rumahnya yang berubah menjadi puing.
Ismail, 24 tahun, seperti ribuan warga Gaza lainnya, terus hidup dalam kecemasan. Sejak Mei lalu, ia dan keluarganya terpaksa meninggalkan rumah mereka di Al-Qarara setelah mendapat peringatan evakuasi dari tentara Israel. Waktu itu, rumahnya masih berdiri meski retak akibat serangan udara dan artileri. Kini, harapan itu tinggal debu, secara harfiah.
“Setiap ledakan membuat kami bertanya-tanya: apakah itu rumah kami? Apakah tempat kami berkumpul selama ini sudah rata dengan tanah?” ujar Ismail, dikutip Al Jazeera Net.
Bapaknya, seorang guru yang telah pensiun, masih tak bisa menerima kenyataan. Demi menenangkan sang ayah, Ismail pernah nekat kembali ke kampungnya. Namun ia hanya menemukan sunyi: rumah-rumah rata, ladang yang dulu hijau kini abu-abu, dan tanda-tanda kehidupan menghilang digantikan kehancuran.
“Garis Kuning” yang Mencuri Tanah dan Nyawa
Tempat yang dulu dihuni keluarganya kini masuk dalam zona militer Israel yang disebut “garis kuning”, sebuah batas tak resmi yang ditandai dengan blok semen berwarna kuning. Di baliknya, warga Palestina dilarang mendekat. Zona ini mencaplok lebih dari separuh wilayah Gaza (sekitar 53 persen), meliputi sebagian besar Khan Younis, Rafah, dan desa-desa utara.
Di balik garis itu, menurut data Kementerian Kesehatan Gaza, lebih dari 240 warga Palestina terbunuh dan 600 lainnya terluka sejak gencatan senjata diumumkan pada Oktober lalu.
“Al-Qarara yang dulu penuh pohon dan kehidupan kini seperti kota hantu,” kata Ismail. “Kami hidup di tenda, tapi hati kami tertinggal di antara reruntuhan.”
Dihancurkan untuk Tak Pernah Kembali
Kepala Balai Kota Bani Suhaila, Hamdan Radwan, menyebut skala kehancuran di wilayahnya mencapai 85 persen. Sementara di kota tetangga, Khuza’a, tingkat kehancuran hampir menyentuh 90 persen, tidak ada satu bangunan pun yang masih berdiri tegak. Rumah, sekolah, lahan pertanian, bahkan taman kanak-kanak, semuanya hancur.
“Kalau pemboman ini terus terjadi setiap hari, mungkin tak ada lagi yang bisa disebut Khan Younis,” ujarnya getir.
Politik Penghancuran, Bukan Keamanan
Menurut Dr. Ismail Al-Thawabta, Direktur Kantor Informasi Pemerintah Gaza, apa yang terjadi di timur Khan Younis bukan sekadar “operasi militer,” melainkan proyek penghancuran sistematis yang berlangsung bahkan setelah gencatan senjata.
“Israel tidak hanya menghancurkan bangunan,” katanya. “Mereka menghancurkan kemungkinan hidup. Ini bukan perang, tapi kebijakan, kebijakan untuk menghapus manusia dari tanahnya sendiri.”
Ia menyebut operasi penghancuran ini sebagai upaya menciptakan “pengungsian permanen,” dengan cara membuat lingkungan tak lagi layak huni atau dibangun kembali. “Ini bukan kebetulan, tapi strategi jangka panjang untuk mengosongkan wilayah dan mengubah demografi Gaza,” tambahnya.
Gaza Timur yang Tak Lagi Bernama
Data lapangan pemerintah Gaza mencatat lebih dari 90 persen bangunan dan infrastruktur di Khan Younis bagian timur hancur total atau tak bisa diperbaiki. Di atas reruntuhan itu, hanya debu, kabut, dan kenangan yang tersisa.
Bagi Ismail Abdul Ghafour, setiap butir pasir di tanah itu masih menyimpan cerita, tentang keluarganya, masa kecilnya, dan rumah yang tak lagi ada. “Kami ingin kembali,” katanya lirih, “meski yang tersisa hanya puing.”










