Analis dan penulis Israel, Gideon Levy mengatakan kalau apa yang gagal dicapai Israel dengan kekuatan paling “barbar” dalam sejarahnya tidak akan tercapai dengan kekuatan yang lebih brutal di Gaza.
Tulisan Gideon Levy ini merujuk pada rencana Israel untuk melanjutkan perang Gaza dengan menekan Hamas secara bertahap, dengan blokade bantuan dan pemutusan pasokan listrik, sebelum mengerahkan pasukan lebih besar dari agresi sebelumnya ke Gaza.
Dia menulis dalam sebuah artikel di media Israel, Haaretz kalau Gerakan Perlawanan Palestina, Hamas pada akhirnya akan bertahan dari perang berdarah di mana ratusan tentara Israel dan puluhan ribu warga Gaza terbunuh.
Perang berdarah di Gaza ini memiliki daya dan tingkat kerusakan yang sama besarnya dengan yang dialami di Dresden, ibu kota negara bagian Saxony di Jerman, selama Perang Dunia II.
Levy menambahkan kalau Israel harus mengakui bahwa hanya Hamas yang akan tetap berada di Jalur Gaza, dan Israel harus belajar dari kenyataan ini.
“Patut dicatat, Gideon Levy menyebutkan Hamas sebanyak 24 kali dalam artikelnya, yang menegaskan klaimnya bahwa Gerakan Perlawanan Palestina tersebut, meskipun telah menderita kerusakan militer yang signifikan, akan pulih,” tulis laporan Khaberni, Jumat (14/3/2025) mengutip ulasan Levy.
Ideologi Perlawanan Hamas Tumbuh Kuat Selama PerangSecara politis dan ideologis, Levy mengakui kalau Hamas tumbuh lebih kuat selama perang Gaza dalam 15 bulan agresi pasukan Israel (IDF).
“Hamas menghidupkan kembali ideologi (mental dan cara pandang) perjuangan Palestina, yang diyakini Israel dan dunia, telah dilupakan,” kata Gideon Levy.
Intinya dalam konteks ideologis dan politis, menurut Levy, Israel tidak dapat mengubah fakta kalau Hamas akan tetap eksis dan ada.
“Israel tidak memiliki kemampuan untuk menunjuk badan pemerintahan lain di Gaza, bukan hanya karena keberadaan badan tersebut dipertanyakan, tetapi juga, dan terutama, karena ada batasan terhadap kewenangannya, yaitu kewenangan negara pendudukan (agresor yang tidak memiliki legitimasi),” papar Gideon Levy.
Oleh karena itu, Levi percaya bahwa pembicaraan tentang “The Day After Hamas” atau “Hari Setelah Hamas” adalah menyesatkan.
Sebagai konteks, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, kerap melontarkan rencana ‘The After’ dengan membayangkan Gaza akan dikelola bukan oleh Hamas yang diskenariokan sudah dibasmi IDF.
Pada faktanya, sirat Gideon Levy, wacana ini bahkan masih jauh dari kenyataan di lapangan.
“Tidak ada hari setelah Hamas, dan kemungkinan besar tidak akan ada hari setelah Hamas dalam waktu dekat,” kata Levy.
Dia mengaitkan hal ini dengan fakta kalau Hamas adalah satu-satunya badan pemerintahan di Jalur Gaza, setidaknya dalam situasi saat ini yang hampir tidak dapat diubah.
“Oleh karena itu, (rencana) “hari berikutnya” harus menyertakan eksistensi Gerakan Perlawanan Hamas, dan Israel harus terbiasa dengan hal itu,” saran Levy.
Langkah Sia-sia Jika Israel Kembali Memulai PerangKesimpulan pertama tulisan Gideon Levy ini adalah kalau memulai kembali perang di Gaza adalah langkah yang sia-sia, bagi Israel khususnya.
“Tindakan itu akan membunuh tahanan Israel yang tersisa dan puluhan ribu warga Gaza, dan pada akhirnya, Hamas akan bertahan hidup,” kata dia.
Alih-alih melancarkan perang lagi “untuk mencabut Hamas dari kekuasaan dan omong kosong lainnya,” kata Levy, “kita harus membiasakan diri dengan keberadaannya.”
Dia menambahkan kalau situasi ini mengharuskan Israel untuk bernegosiasi dengan gerakan tersebut.
Dia juga mengatakan: “Jika Israel menepati janjinya seperti yang dilakukan Hamas, kita sekarang akan berada di tahap kedua dan ketiga perjanjian gencatan senjata.”
Dia melanjutkan bahwa jika Israel memiliki seorang negarawan dengan visi dan keberanian—sebuah ide yang mungkin tidak ada harapan, katanya—dia akan mencoba berbicara dengan Hamas secara langsung, di depan umum, dan di hadapan semua orang di Gaza atau Al-Quds.
Meskipun Gideon Levy percaya bahwa akan lebih baik jika Gaza memiliki pemerintahan yang berbeda, ia mengakui bahwa pilihan ini tidak dapat dicapai dalam waktu dekat.
Menurutnya, mustahil menunjuk seorang pemimpin di Jalur Gaza, bahkan Mohammed Dahlan, tanpa persetujuan Hamas.
Mohammed Dahlan adalah mantan kepala Keamanan Preventif Otoritas Palestina di Gaza dan anggota senior Fatah yang menentang presiden Mahmoud Abbas.
Levy yakin kalau “Otoritas Palestina, yang katanya perlahan-lahan ‘sekarat’ kehilangan pengaruh dan legitimasi di Tepi Barat, tidak akan tiba-tiba hidup kembali di Gaza.”