Harapan akan tercapainya gencatan senjata di Gaza semakin nyata setelah faksi-faksi perlawanan Palestina menyetujui proposal baru yang diajukan para mediator dan didukung Amerika Serikat. Namun, realisasi kesepakatan itu masih menunggu keputusan Israel.
Menurut sumber Al Jazeera, proposal tersebut berisi rencana gencatan senjata selama 60 hari disertai pertukaran tahanan: 10 tawanan Israel yang masih hidup dan 18 jenazah akan ditukar dengan 1.700 tahanan Palestina, termasuk 45 yang dijatuhi hukuman seumur hidup dan 15 dengan vonis tinggi. Dari jumlah itu, sekitar 1.500 adalah warga Gaza yang ditangkap setelah 7 Oktober 2023.
Skema pertukaran diatur bertahap. Delapan sandera Israel akan dibebaskan di awal masa jeda, dua lainnya di hari ke-50, sementara jenazah akan diserahkan secara berangsur. Selama 60 hari, kedua pihak diharapkan melanjutkan negosiasi menuju penghentian perang secara menyeluruh.
Tekanan terhadap Netanyahu
Bagi Hamas, keputusan menerima proposal ini bukan langkah individual. Selama tiga hari terakhir, kelompok itu memastikan seluruh faksi ikut serta dalam pembahasan di Kairo, agar tidak dituduh menjadi penghambat perundingan.
Langkah ini, kata analis, justru menempatkan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dalam posisi sulit. Selama ini ia menolak kesepakatan parsial dan menambahkan syarat-syarat yang dinilai mustahil dipenuhi. Tidak banyak yang menduga Hamas justru akan menyetujui usulan terbaru.
Dr. Muhannad Mustafa, pakar politik Israel, menilai Netanyahu kini terjebak. Jika menolak, ia berisiko dianggap mengabaikan peluang menghentikan perang. Jika menerima, ia harus mencari alasan politik untuk membenarkan langkah itu, misalnya dengan menyebut bahwa pihak Palestina akhirnya tunduk pada tekanan militer.
“Israel tidak diuntungkan bila menolak”
Adolfo Franco, analis strategi dari Partai Republik AS, menyebut perkembangan ini sinyal positif. Menurutnya, kesepakatan 60 hari adalah satu-satunya jalan untuk mengatasi krisis kemanusiaan di Gaza, sekaligus membuka ruang negosiasi lebih luas mengenai masa depan wilayah itu.
Ia menekankan, menolak usulan ini justru merugikan Israel karena Hamas sudah mengalah pada syarat krusial: tidak lagi menuntut penghentian total perang. “Kesepakatan ini mendapat dukungan Washington. Israel seharusnya menerima,” ujarnya.
Antara harapan dan keraguan
Di Gaza, suasana publik diwarnai optimisme berhati-hati. Warga melihat peluang kesepakatan yang dapat meringankan ketegangan setelah berhari-hari hidup di bawah ancaman eskalasi Israel. Keterlibatan Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi dan Perdana Menteri Qatar Mohammed bin Abdulrahman dalam negosiasi turut menambah bobot proses ini.
Namun, pengamat Palestina Wisam Afifa mengingatkan bahwa pengalaman sebelumnya membuktikan: Israel kerap mundur di menit-menit terakhir atau menambahkan tuntutan baru yang melemahkan isi kesepakatan. Ia menilai isi proposal saat ini sebenarnya tidak banyak berbeda dengan draft-draft sebelumnya.
Dengan demikian, bola kini ada di tangan Netanyahu. Hamas telah memberi sinyal kompromi, sementara tekanan internasional terus meningkat. Pertanyaan yang tersisa: apakah Israel siap menerima atau kembali memilih jalan buntu?
Sumber: Al Jazeera