Spirit of Aqsa, Palestina- Otoritas penjajah Israel di bawah pimpinan Benjamin Netanyahu merampok 13 ribu hektar milik warga Palestina di Tepi Barat. Tanah itu akan diberikan kepada imgiran ilegal Yahudi. Penjajah juga menyita 70 bangunan milik warga Palestina di Hebron.
Penjajah Israel mengklaim tanah tersebut merupakan miliki zionis Israel yang dirampas sebelum peristiwa Nakbah pada 1948.
Rencana perampokan ini datang di bawah perjanjian koalisi antara Likud dan partai-partai agama Zionis. Demikian menurut kantor berita resmi Palestina Wafa, mengutip dari surat kabar Israel Haaretz, pada hari Rabu (11/1/2023).
Surat kabar Ibrani tersebut menyatakan bahwa langkah ini akan memfasilitasi perluasan permukiman Yahudi dan penyitaan bangunan yang disewakan kepada warga Palestina.
Dua organisasi anti-pendudukan dan pemukiman Israel, “Peace Now” dan “Bimkom”, memperoleh data mengenai properti ini, dan ditemukan fakta bahwa tanah, dengan luas total 13.000.000 meter persegi, tersebut terletak di wilayah blok permukiman Yahudi “Gush Etzion” di wilayah Bethlehem, dan wilayah al-Quds utara diduduki, di mana desa Palestina Nabi Samuel, Habla, Battir dan Beit Furik.
Sebagian tanah ini terletak di Area (B), yang berada di bawah kendali administratif Palestina dan kendali keamanan Israel.
Surat kabar Israel tersebut menyatakan bahwa kebijakan Israel, sejak tahun sembilan puluhan, adalah tidak mengembalikan properti ini kepada “pemilik Yahudi”, dan statusnya harus diklarifikasi dalam kerangka perjanjian perdamaian di masa depan.
Dalam laporan yang disampaikan oleh tim ahli hukum yang diketuai oleh Hakim Pengadilan Distrik di Yerusalem, Haya Zandberg, pada tahun 2018, disebutkan bahwa dalam beberapa kasus selama bertahun-tahun, otoritas pendudukan Zionis Israel telah menyerahkan tanah tersebut untuk membangun permukiman-permukiman Yahudi.
Menurut sumber permukiman, pengalihan “kepemilikan” atas tanah ini mungkin terkait dengan rencana pemerintah Zionis Israel untuk membangun 70 rumah bagi pemukim pendatang Yahudi di daerah yang disebut “pasar grosir” di Hebron.
Sebelum pendudukan tanah Palestina tahun 1967, Yordania menyewakan daerah ini ke kotamadya Hebron, sebagai penyewa yang dilindungi, dan status ini dipertahankan setelah pendudukan Israel, dan terdapat pasar di dalamnya, sampai daerah tersebut ditutup dan dinyatakan sebagai zona militer tertutup oleh pihak pendudukan Zionis, setelah pembantaian Masjid Ibrahimi pada tahun 1994.
Pada akhir 2019, Menteri Keamanan Israel saat itu, Naftali Bennett, menginstruksikan untuk memulai prosedur perencanaan untuk mendirikan koloni pemukiman di area pasar tersebut. Dan kemudian, Kotamadya Hebron, sebagai penyewa yang dilindungi, menolak untuk menyetujui permintaan pendudukan untuk menghancurkan area pasar.
Pengacara Samer Shehadeh, yang mewakili Kotamadya Hebron, mengatakan bahwa menyerahkan wilayah tersebut kepada apa yang disebut “pemilik Yahudi” akan merugikan hak-hak warga Palestina yang tinggal di dalamnya saat ini. Sebagian dari bangunan ini dihuni oleh warga Palestina sebagai penyewa yang dilindungi, dan akan sulit untuk mgevakuasi amereka dari rumah mereka.
Pada tahun 2011, Mahkamah Agung Zionis menolak permohonan yang diajukan oleh orang Yahudi. Mereka menuntut pengembalian properti di Hebron kepada mereka, dengan klaim bahwa properti tersebut adalah milik mereka sebelum Nakba. Pengadilan memutuskan bahwa mereka tidak berhak atas kompensasi untuk itu. (Palinfo)