Di tengah ketegangan politik dan militer yang kian menajam, tewasnya pemimpin milisi bersenjata, Yasser Abu Syabab, di timur Rafah, Gaza selatan, kembali mengubah peta dinamika antara Gaza, Tel Aviv, dan Washington.

Kematian Abu Syabab terjadi bertepatan dengan berakhirnya fase pertama kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran tahanan, sekaligus masa persiapan (secara teoritis) untuk memasuki fase kedua.

Menurut analis urusan Israel, Mohannad Mustafa, hilangnya Abu Syabab merupakan “pukulan bagi Israel”. Ia menjelaskan bahwa Tel Aviv secara historis mengandalkan “pembangunan jaringan tentara bayaran dari kelompok milisi dan kriminal di wilayah pendudukan” sebagai alat pengganti fungsi keamanan maupun pemerintahan.

Mustafa menyebut, dalam wawancaranya dengan Al Jazeera, bahwa Israel selama ini menaruh harapan pada kelompok-kelompok seperti ini untuk “meneror warga Palestina” serta memaksakan agenda politik dan keamanannya di Gaza.

Namun, dalam kalkulasi strategis Israel, kata Mustafa, kekuatan utamanya justru terletak pada kendali militer atas sekitar separuh wilayah Gaza. Penguasaan inilah yang diperlakukan sebagai kartu tawar dalam negosiasi fase kedua, terutama terkait masa depan tata kelola Gaza dan upaya pelucutan senjata Hamas.

Sebelumnya, harian Israel Yedioth Ahronoth mengungkapkan kekhawatiran otoritas keamanan Israel bahwa kematian Abu Syabab justru dapat menguatkan posisi Hamas di Gaza. Situasi ini dinilai melemahkan proyek Tel Aviv yang bertujuan menjadikan kelompok-kelompok milisi sebagai kekuatan alternatif dalam skenario “hari setelah perang”.

Surat kabar tersebut juga menyoroti meningkatnya “fenomena saling menyingkirkan dari dalam kelompok-kelompok milisi lokal di Gaza”.

Sementara itu, Ibrahim Fraihat, Guru Besar Studi Konflik Internasional di Doha Institute, menilai peristiwa ini berkaitan dengan sejarah panjang kegagalan Israel memaksakan model milisi lokal sebagai agen atau perpanjangan tangan kekuasaan, baik di Lebanon maupun Tepi Barat. Ia menyatakan keheranan atas “keterkejutan Israel terhadap jatuhnya Abu Syabab”, padahal pola serupa sudah berulang dalam banyak konteks.

Fraihat menilai pembunuhan itu membawa “pesan tegas bahwa perlawanan tetap hadir”. Momentum kejadian ini dinilai sangat penting karena muncul di akhir fase pertama kesepakatan, pada saat Amerika Serikat masih kesulitan membentuk kekuatan internasional setelah beberapa negara menarik diri karena enggan berhadapan langsung dengan Hamas.

Yasser Abu Syabab merupakan warga Palestina kelahiran 1990 dari Rafah dan berasal dari kabilah Tarabin. Ia pernah ditahan atas sejumlah kasus kriminal sebelum 7 Oktober 2023 dan dibebaskan setelah serangan Israel menghancurkan kantor-kantor keamanan di Gaza.

Namanya kembali mencuat setelah Brigade Izzuddin al-Qassam menggagalkan operasi kelompok “musta’ribin” (pasukan penyamar Israel) di timur Rafah pada 30 Mei 2025. Saat itu, ditemukan pula sejumlah agen Israel yang beroperasi langsung di bawah apa yang digambarkan perlawanan sebagai “kelompok Yasser Abu Syabab”.

Fraihat menambahkan bahwa pesan peristiwa ini juga “ditujukan kepada Washington”, mengingat peran Abu Syabab selama ini lebih banyak sebatas “perang psikologis dan kebisingan media”, dengan pengaruh terbatas pada jalannya pertempuran.

Dari sisi Amerika Serikat, analis Partai Republik, Jane Karrd, menilai Presiden Donald Trump memandang situasi ini sebagai “masa yang penuh tantangan”, namun tetap tidak menginginkan adanya perlambatan proses perdamaian yang ia klaim berada dalam genggamannya.

Karrd menyebut insiden ini akan “memperlambat dinamika yang sedang dibangun”, tetapi menegaskan bahwa Trump “yakin dengan posisi dominannya” dan siap “memperbaiki kesepakatan bila sewaktu-waktu terganggu”.

Sumber: Al Jazeera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here