Di tengah darah yang bercampur politik, dan kesepakatan yang berubah menjadi ujian niat, rakyat Palestina menghadapi kenyataan yang dibentuk paksa oleh Israel melalui pelanggaran berulang dan penciptaan fakta baru di lapangan.
Blokade semakin ketat, ancaman meningkat, dan jalur politik rapuh. Perlawanan menanggung beban ganda: melindungi rakyat dan mencegah Gaza kembali terjun ke perang baru, sementara Israel memanfaatkan setiap celah untuk memperkuat kontrolnya.
Aturan Pertempuran Baru
Ibrahim Al-Madhoun, analis politik dan kepala Lembaga Media Palestina, menyoroti bahwa Israel berusaha menerapkan aturan pertempuran baru yang berbeda dari kesepakatan gencatan senjata dan juga bertentangan dengan rencana Trump.
“Israel terus menargetkan rakyat Palestina melalui penutupan perbatasan, kontrol masuknya barang dan kebutuhan dasar, serta menciptakan lingkungan mencekik yang menyentuh semua aspek kehidupan. Proyek pengusiran massal tetap menjadi salah satu tujuan utama mereka,” ujar Al-Madhoun.
Sejak gencatan senjata 10 Oktober, Israel telah melakukan ratusan pelanggaran, menewaskan 347 warga dan melukai 871 lainnya, meski perang yang dimulai pada 7 Oktober 2023 sudah menewaskan sekitar 70 ribu orang dan melukai 171 ribu, serta menghancurkan 90% infrastruktur sipil di Gaza.
Pilihan Perlawanan yang Sulit
Al-Madhoun menekankan, opsi perlawanan saat ini penuh risiko. Respon langsung terhadap pelanggaran bisa memicu perang luas dengan dampak manusia yang fatal, sedangkan tidak merespons memberi Israel ruang untuk memperluas pembunuhan dan penetrasi dengan dalih keamanan.
Upaya Diplomasi: Pembicaraan Kairo
Faksi perlawanan, termasuk Hamas, mengadakan pembicaraan di Kairo untuk membahas fase kedua kesepakatan dan situasi Gaza saat ini. Hazem Qassem, juru bicara Hamas, menyatakan fokus pembicaraan: memaksa Israel menghentikan pelanggaran yang mengancam kesepakatan.
Tanggung Jawab dan Tekanan Internasional
Al-Madhoun menegaskan, perlawanan bertindak dengan tingkat tanggung jawab tinggi, menjaga kesepakatan secara politik dan membangun tekanan regional-internasional untuk mencegah perang baru. Namun, ia mencatat bahwa AS cenderung memihak Israel, dan pelanggaran kerap terjadi dengan koordinasi mereka.
“Ini menuntut peran aktif dari negara Arab dan mediator internasional untuk menekan Israel mematuhi kesepakatan dan menyeimbangkan posisi AS,” tambahnya.
Ancaman Kesepakatan Jadi Formalitas
Jika pelanggaran berlanjut, kesepakatan bisa berubah menjadi hanya formalitas, sementara Israel terus menciptakan realitas baru, menekan Gaza secara ekonomi, keamanan, dan militer. Tahap kedua kesepakatan hanya mungkin jika ada tekanan nyata dari dunia Arab dan internasional.
Kondisi Tanpa Damai dan Tanpa Perang
Menurut analis Ahmed Al-Tanani, Israel ingin memperpanjang fase pertama kesepakatan untuk membentuk status quo “tanpa damai, tanpa perang”, mengubah agresi menjadi bagian dari kerangka kesepakatan.
Pembicaraan di Kairo, yang melibatkan Hamas, Front Populer, dan Jihad Islam, menunjukkan konsensus faksi untuk menolak status quo yang ingin dipaksakan Israel.
Al-Tanani memperkirakan, fase berikutnya akan menyaksikan penyesuaian aturan pertempuran baru oleh perlawanan untuk menutup celah Israel, sekaligus menjaga kesepakatan demi kepentingan rakyat Palestina.









