Di tengah gencatan senjata yang rapuh, Israel terus menekan Gaza bukan hanya dengan peluru, tapi dengan obat-obatan yang disandera. Bantuan medis kini dijadikan alat tawar-menawar politik. Banyak jenis obat, alat kesehatan, hingga suku cadang rumah sakit dimasukkan ke dalam “daftar barang terlarang” dengan alasan klasik: “berpotensi ganda.”

Padahal, bagi dua juta lebih warga Gaza yang terisolasi, setiap obat yang tertahan berarti satu nyawa hilang.

Pejabat Kementerian Kesehatan Gaza memperkirakan, 12 hingga 15 pasien meninggal setiap hari akibat kekurangan obat dan tertundanya izin keluar negeri untuk berobat. Sementara itu, Israel tetap menutup Perlintasan Rafah, satu-satunya jalur menuju Mesir dan dunia luar.

Kementerian Kesehatan dan kantor media pemerintah di Gaza menilai Israel melanggar secara sistematis kesepakatan gencatan senjata yang ditandatangani 10 Oktober lalu. Tak ada perbaikan berarti di sektor kesehatan, yang kini berada di ambang kehancuran total.

Krisis Kesehatan yang Disengaja

Kekosongan obat di Gaza kini mencapai 55 persen. Zaher al-Wahidi, kepala Unit Informasi Kesehatan Gaza, mengatakan layanan medis yang paling terdampak meliputi operasi bedah, pengobatan kanker, perawatan ibu dan anak, serta penyakit kronis seperti jantung, diabetes, dan hipertensi.

Obat bagi penderita kanker dan kelainan darah (sekitar 10 ribu pasien) mengalami kekurangan hingga 74 persen. Sementara itu, 350 ribu penderita penyakit kronis kini kehabisan pasokan rutin.

Kondisi tak kalah parah terjadi pada peralatan medis: 71 persen stok habis. Akibatnya, operasi jantung terbuka dan kateterisasi berhenti total, operasi tulang nyaris lumpuh, dan layanan cuci darah hanya bisa berjalan sepertiga kapasitas.

Sebelum gencatan senjata, kekurangan alat medis sudah 68 persen. Kini meningkat jadi 71 persen, tanda bahwa Israel sengaja memperlambat pemulihan.

“Setetes di Laut Kebutuhan”

Wahidi menggambarkan bantuan medis yang diizinkan masuk sebagai “setetes di laut kebutuhan.” Bantuan itu bahkan tak memperbaiki 1 persen pun dari krisis kesehatan yang menimpa Gaza.

Larangan Israel tak hanya menyangkut obat, tapi juga suku cadang generator listrik, minyak pelumas, hingga alat perbaikan ambulans. Tujuh mesin MRI telah hancur, hanya 7 dari 17 CT scan yang masih berfungsi, dan dari 75 mesin rontgen, tinggal 23 yang bisa digunakan.

Sejak perang dimulai, 38 rumah sakit dan 96 klinik dihancurkan atau dinonaktifkan.
Sekitar 1.600 tenaga medis gugur, dan 362 lainnya ditangkap.

Mati Perlahan di Jalur Tunggu

Meski jumlah korban akibat serangan udara menurun, kematian kini datang lewat penyakit.
Setiap hari, belasan pasien meninggal dunia saat menunggu izin berobat ke luar negeri. Dari 19.125 pasien dan korban luka yang terdaftar, 1.034 orang telah wafat, termasuk 154 anak-anak.

Sejak Israel menutup Rafah pada Mei tahun lalu, 983 di antara mereka meninggal, sebuah angka yang menggambarkan kebijakan penghancuran tanpa bom. “Israel ingin membuat warga Gaza terus hidup dalam penderitaan ekstrem,” kata Wahidi. “Ini bagian dari strategi pemaksaan migrasi.”

Israel juga sengaja menahan obat-obatan penting. Kadang satu jenis dari protokol pengobatan penyakit berat tidak diizinkan masuk, sehingga seluruh terapi kehilangan efektivitasnya. Akibatnya, pasien kanker, gagal ginjal, dan anak-anak penderita penyakit kronis kini menjadi korban perang yang sekarat tanpa peluru.

Obat Sebagai Alat Politik

Menurut Ismail al-Thawabteh, Kepala Kantor Media Pemerintah Gaza, Israel telah mengubah obat menjadi senjata politik. Dengan dalih keamanan, Israel menunda izin impor bagi pedagang dan lembaga kemanusiaan, memperlambat proses persetujuan, dan menambah penderitaan warga secara sistematis.

“Ini bukan kebijakan sementara,” ujarnya. “Ini strategi jangka panjang untuk membuat masyarakat Gaza lemah, lelah, dan terpuruk dalam krisis kemanusiaan yang tak berujung.”

Thawabteh menyebut Israel menjalankan dua jalur penyiksaan: menutup akses masuk obat dan alat kesehatan di satu sisi, serta melarang pasien keluar Gaza untuk berobat di sisi lain. Tujuannya jelas—meningkatkan angka kematian secara perlahan.

Kini, tingkat kematian alami di Gaza meningkat enam kali lipat dibanding sebelum perang genosida dimulai. Perang mungkin mereda di garis depan, tetapi kematian masih berlangsung di ranjang rumah sakit.

“Membunuh Lewat Kekurangan”

Bagi warga Gaza, setiap pil yang tertahan di pelabuhan Israel berarti satu napas yang hilang.
Dan bagi dunia, ini adalah bentuk baru dari kekerasan: membunuh lewat kekurangan, menundukkan lewat rasa sakit.

Selama gencatan hanya berlaku di atas kertas, Israel tetap memegang kendali atas hidup dan mati di Gaza, bukan dengan senjata, tapi dengan menahan obat, oksigen, dan harapan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here