Sayap militer Hamas, Brigade Al-Qassam, menegaskan bahwa pasukannya berperang di posisi defensif, dan menuding Israel sebagai pihak yang sepenuhnya bertanggung jawab atas bentrokan di Rafah, Gaza selatan.
Dalam pernyataannya di Telegram, Al-Qassam menegaskan bahwa para pejuangnya hanya membela diri di wilayah yang dikendalikan Israel, setelah pasukan pendudukan menolak memberi jalur aman untuk evakuasi para pejuang dari dalam terowongan di zona “garis kuning.”
“Tidak ada dalam kamus Al-Qassam istilah menyerah kepada musuh,” tulis pernyataan itu. “Kami menyerahkan tanggung jawab kepada para mediator agar memastikan kelanjutan gencatan senjata dan mencegah Israel mencari-cari alasan untuk menghancurkan perjanjian serta menyerang warga sipil.”
Brigade itu juga mengungkapkan bahwa penggalian dan pengambilan jenazah tawanan Israel dilakukan dalam kondisi luar biasa sulit, dan tahap selanjutnya membutuhkan tim serta peralatan tambahan.
Israel Mencari Alasan, Hamas Menutup Celah
Sejak 19 Oktober, kurang dari sepuluh hari setelah gencatan senjata mulai berlaku, Israel kembali menuduh adanya pejuang Al-Qassam di Rafah setelah dua tentaranya tewas dalam penyergapan.
Padahal, Al-Qassam telah menyatakan kehilangan kontak dengan kelompoknya di area itu sejak Maret lalu. Namun tuduhan itu menjadi dalih baru bagi Israel untuk melancarkan serangan udara besar-besaran, melanggar kesepakatan yang baru saja ditandatangani.
Menurut sumber Palestina kepada Al Jazeera Net, faksi-faksi perlawanan telah berkoordinasi dengan mediator untuk menarik para pejuang dari zona kuning tanpa bentrokan, demi menutup celah yang bisa digunakan Israel untuk membatalkan gencatan.
Persoalan ini, kata sumber itu, bahkan masuk dalam agenda pembahasan dua utusan Amerika (Jared Kushner dan Steve Witkoff) yang akan berkunjung ke Tel Aviv.
Tegangan di Lapangan dan Upaya Politik di Balik Pernyataan
Direktur Palestinian Center for Political Studies, Rami Khreis, menilai pernyataan Al-Qassam menunjukkan komitmen terhadap ketenangan, sekaligus menyingkap kompleksitas lapangan yang masih rentan pecah sewaktu-waktu.
Menurutnya, tanggapan para pejuang di wilayah yang dikuasai Israel bersifat murni defensif, sementara pernyataan publik Al-Qassam berfungsi sebagai sinyal politik bagi para mediator agar segera bertindak.
Di sisi lain, media Israel melaporkan bahwa pemerintahan Donald Trump menawarkan solusi bagi krisis para pejuang di terowongan Rafah: mereka dapat menyerahkan senjata ke pihak ketiga (Mesir, Qatar, atau Turki) dengan imbalan amnesti dari Israel.
Namun, Kepala Staf IDF, Eyal Zamir, menolak opsi itu dan menegaskan bahwa krisis tersebut “harus berakhir dengan kematian atau penyerahan diri.” Menteri Pertahanan Israel, Yisrael Katz, bahkan memerintahkan penghancuran seluruh terowongan Hamas “hingga yang terakhir.”
Sebagai respons, Hamas memperingatkan: jika Israel menolak memberi jalan keluar bagi para pejuang di Rafah, maka Israel tidak akan menerima sisa jenazah tentaranya.
Pesan Tegas untuk Mediator dan Dunia Internasional
Menurut Khreis, pernyataan Al-Qassam tidak hanya militer, tetapi juga berdimensi politik dan moral. Dengan menegaskan “tidak akan menyerah kepada musuh,” Al-Qassam mengirim sinyal kepada rakyat Palestina dan dunia Arab bahwa mereka tidak tunduk pada tekanan Israel, bahkan di tengah proses diplomatik yang rumit.
Ia juga menilai bahwa permintaan Al-Qassam untuk memasukkan tim dan alat teknis demi pencarian jenazah menunjukkan sisi kemanusiaan dari pernyataan itu, sekaligus menekan para mediator untuk bertindak cepat.
Dalam beberapa hari ke depan, kata Khreis, akan terlihat aktivitas diplomatik dari Mesir, Qatar, dan Amerika Serikat guna menindaklanjuti permintaan tersebut, sementara Israel kemungkinan menimbang langkah militer atau politik untuk menguasai narasi.
Namun, semua pihak sepakat: situasi di Gaza kini berada di titik paling rapuh. Satu kesalahan kalkulasi saja bisa mengguncang keseimbangan rapuh antara perang dan damai.
“Tidak Ada Dalam Kamus Kami Kata Menyerah”
Bagi Al-Qassam, pernyataan ini bukan sekadar klarifikasi, tetapi peta arah hari-hari mendatang. Pesannya jelas: gencatan senjata harus dipertahankan, dan alasan-alasan buatan Israel untuk menyerang Gaza tidak lagi bisa dibiarkan.
Di tengah reruntuhan dan diplomasi yang tersendat, Hamas berupaya menutup celah perang yang masih terbuka, sambil memastikan bahwa, apa pun yang terjadi, mereka tidak akan menyerahkan diri.
Sumber: Al Jazeera










