Hind Khoudary, jurnalis yang melaporkan dari Deir al-Balah, Gaza, menggambarkan situasi kemanusiaan yang kian mengkhawatirkan. Meski ada kesepakatan bahwa 600 truk bantuan kemanusiaan seharusnya masuk setiap hari, realitanya jumlah yang tiba tidak sampai 300 truk, dan sebagian besar bukan bantuan, melainkan truk komersial yang membawa barang untuk dijual di pasar.
“Palestina butuh makanan, butuh tempat tinggal, butuh obat-obatan. Tapi yang masuk justru barang dagangan,” kata Hind.
Kondisi ini membuat distribusi bantuan hampir tidak terlihat di lapangan. Anak-anak menjadi kelompok yang paling terdampak.
“Anak-anak tidak punya apa-apa. Mereka butuh pakaian, sepatu, perlengkapan kebersihan, obat-obatan. Tapi tidak ada yang benar-benar sampai ke masyarakat,” tambahnya.
Masalah lain yang memperparah keadaan: ekonomi Gaza lumpuh total. Bank belum beroperasi, lapangan kerja hilang, dan harga barang melonjak.
“Warga Gaza tidak punya uang. Mereka kehilangan segalanya selama dua tahun terakhir, rumah mereka hancur, pekerjaan lenyap, tabungan habis untuk bertahan hidup,” ujar Hind.
Di tengah krisis ini, masyarakat Gaza hidup dalam ketidakpastian. Mereka takut gencatan senjata sewaktu-waktu runtuh, sementara janji-janji kesepakatan berjalan lambat dan minim implementasi nyata.
“Orang-orang di Gaza sangat takut pembantaian bisa kembali kapan saja,” tutupnya.