Lebih dari dua tahun setelah agresi militer Israel, Jalur Gaza masih terhimpit krisis kemanusiaan. Infrastruktur luluh lantak, warga kehilangan tempat tinggal, sementara bantuan internasional masih jauh dari memadai. Hal ini disampaikan dua pejabat pemerintah Gaza dalam program “Jendela Kemanusiaan dari Gaza” yang ditayangkan Al Jazeera.

Direktur Kantor Media Pemerintah Gaza, Ismail Al-Thawabta, menyebut situasi kemanusiaan di Gaza “masih berada pada level bencana”. Ia menegaskan tidak ada kemajuan berarti dalam masuknya bantuan kemanusiaan ke wilayah itu.

“Pada hari Minggu lalu hanya 173 truk bantuan yang masuk. Itu pun hanya 3 truk berisi gas memasak dan 6 truk bahan bakar. Selebihnya kebutuhan pangan dasar, jumlah yang tidak cukup untuk dua juta penduduk,” kata Al-Thawabta.

Ia menuntut Israel membuka seluruh perlintasan dan mengizinkan 600 truk bantuan masuk setiap hari. Menurutnya, prioritas utama saat ini adalah pangan, obat-obatan, tempat tinggal, serta logistik kesehatan.

“Ada 288 ribu keluarga Palestina yang kehilangan rumah. Mereka tidak punya tempat tinggal,” tegasnya.

Al-Thawabta mengatakan Gaza mendesak masuknya tenda dan rumah portabel sementara sambil menunggu proses rekonstruksi. Ia juga menyerukan tekanan internasional untuk menghentikan kebijakan kelaparan massal dan memulihkan layanan kesehatan yang tersisa.

Terkait mekanisme kerja Perbatasan Rafah setelah gencatan senjata, ia mengungkapkan bahwa faksi perlawanan telah memasukkan pembukaan perbatasan sebagai bagian dari kesepakatan. Rafah nantinya akan dioperasikan berdasarkan perjanjian tahun 2005. Israel disebut bertanggung jawab memperbaiki infrastruktur perlintasan yang dihancurkannya sendiri.

“Prioritas perjalanan melalui Rafah adalah bagi para korban luka yang membutuhkan operasi segera, kemudian mahasiswa yang akan melanjutkan studi ke luar negeri,” ujarnya.

Krisis Air dan Sampah Mengancam Warga Gaza

Dalam laporan yang sama, Juru Bicara Pemerintah Kota Gaza, insinyur Asim Al-Nabih, memaparkan krisis air yang semakin parah.

“Warga kesulitan mengakses air bersih. Sebagian besar air yang tersisa tidak layak minum,” katanya.

Ia menjelaskan bahwa lebih dari 75% sumur air utama di Gaza hancur akibat serangan Israel. Bahkan, beberapa sumur yang telah diperbaiki dihantam lagi dalam serangan berikutnya.

Pemerintah kota kini kekurangan alat berat untuk memperbaiki jaringan air maupun peralatan teknis untuk memulihkan sumur. Jika kebutuhan ini tidak masuk dalam daftar bantuan, ia memperingatkan krisis air bersih akan terus berlanjut, bahkan setelah gencatan senjata.

Tak hanya air, Gaza kini juga menanggung bencana sampah. Lebih dari 250 ribu ton sampah menumpuk di berbagai wilayah Gaza akibat lumpuhnya layanan kebersihan.

“Ini ancaman serius bagi kesehatan publik dan menjadi bencana lingkungan yang berpotensi merusak sumber air tanah,” ujar Al-Nabih.

Sumber: Al Jazeera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here