Hamas dan faksi-faksi perlawanan Palestina kini berada dalam situasi pelik. Para analis menilai, gerakan perlawanan dituntut untuk segera memberikan jawaban atas rencana yang diajukan Presiden AS Donald Trump guna mengakhiri perang di Gaza. Namun, rencana itu justru penuh titik kabur dan butuh kajian mendalam.
Trump memberi tenggat hanya empat hari bagi Hamas untuk menjawab. Jika tidak, katanya, Israel mendapat “lampu hijau untuk melakukan apa yang perlu dilakukan.” Ia menyebut rencananya “jelas dan komprehensif,” bahkan diklaim sudah mengantongi dukungan luas dari Israel maupun negara-negara Arab.
Pengamat urusan Amerika, Mohamed El-Menshawy, menilai posisi Hamas memang sulit. Trump menuntut jawaban sederhana—“ya” atau “tidak”—karena ia tergesa ingin mencetak prestasi, meski harus mengorbankan hak-hak rakyat Palestina.
Delegasi Hamas sendiri langsung berkomitmen mempelajari proposal itu dengan penuh tanggung jawab. Hal ini ditegaskan pula oleh juru bicara Kementerian Luar Negeri Qatar, Majed Al-Ansari. Selasa malam, dijadwalkan pertemuan di Doha dengan partisipasi delegasi Hamas bersama pejabat dari Turki dan Mesir untuk membahas detail rencana tersebut.
Menurut akademisi dan pakar Timur Tengah Dr. Mahjoub Zweiri, Hamas harus sangat waspada. Ia menduga Hamas akan meminta klarifikasi, jaminan yang lebih kuat, serta menekankan persoalan penting: bagaimana nasib rakyat Palestina setelah perang usai—baik bagi Otoritas Palestina maupun Hamas—yang nyaris diabaikan dalam rencana itu.
Zweiri menambahkan, Trump dalam pertemuan dengan para pemimpin Arab-Muslim memang menyebut isu-isu umum: menghentikan pengusiran warga Gaza, mengakhiri perang, memasukkan bantuan, serta mengakui negara Palestina. Namun, cepatnya Netanyahu menyatakan dukungan—padahal ia buronan Mahkamah Pidana Internasional—justru menunjukkan Israel sudah meraih segalanya tanpa memberi apa pun.
Menshawy juga mengingatkan, dukungan bipartisan di Kongres AS terhadap rencana ini memperkuat kesan bahwa dokumen tersebut sepenuhnya menguntungkan Israel.
Di sisi lain, dari dalam Israel sendiri muncul penolakan. Menteri Keuangan sayap kanan, Bezalel Smotrich, menyebut rencana itu sebagai “kembali ke Oslo” dan “kegagalan diplomatik besar,” karena tidak memenuhi tuntutan mereka: aneksasi sebagian wilayah Tepi Barat dan pembangunan permukiman baru di utara Gaza. Meski begitu, Netanyahu justru dipuji oleh sebagian demonstran Israel yang sebelumnya mengecamnya.
Beberapa negara Arab dan Islam menyambut inisiatif Amerika ini, meski menekankan pentingnya memastikan aliran bantuan kemanusiaan, menghentikan pengusiran, serta kembali ke jalur politik menuju solusi dua negara.
Adapun isi rencana Trump, yang mencakup 21 poin, menekankan pembebasan tawanan Israel di Gaza dalam 72 jam, perlucutan senjata Hamas, serta penyerahan pengelolaan Gaza kepada komite transisi teknokrat Palestina yang bekerja di bawah supervisi badan internasional bernama “Dewan Perdamaian” dengan Trump sebagai pemimpinnya.