Selasa (30/9), sumber medis melaporkan sedikitnya 59 warga Palestina syahid dalam gempuran udara Israel di berbagai wilayah Jalur Gaza.
Tragedi memilukan terjadi di pusat distribusi bantuan di tengah Gaza, di mana 20 orang yang tengah menunggu bantuan justru menjadi sasaran. Di Kota Gaza, bom Israel menghantam sebuah apartemen dekat Rumah Sakit Syuhada al-Shifa, menyebabkan banyak luka. Sementara Rumah Sakit Al-Ma’madani mengonfirmasi dua korban syahid dan sejumlah luka-luka akibat serangan di lingkungan At-Tuffah, timur laut kota. Serangan lain di kamp pengungsi Asy-Syati juga menewaskan satu warga dan melukai beberapa lainnya.
Rumah Sakit Al-Awda mencatat 17 korban syahid dan lebih dari 30 luka-luka setelah pasukan pendudukan kembali menembaki warga yang tengah menunggu bantuan di koridor Netzarim. Sejumlah korban dilaporkan kritis.
“Perang Lapar” Makin Nyata
Sejak 27 Mei lalu, Israel mengambil alih mekanisme distribusi bantuan melalui lembaga bernama Gaza Relief, yang oleh warga dijuluki “perangkap maut”.Berkali-kali, lokasi distribusi justru menjadi arena pembantaian: ribuan warga syahid dan luka-luka ketika menanti sekantong gandum atau makanan kaleng.
Di tengah krisis, Rumah Sakit Syuhada al-Shifa melaporkan seorang anak gugur akibat malnutrisi dan minimnya obat-obatan. Kementerian Kesehatan Gaza menegaskan, sudah 453 warga Palestina (termasuk 150 anak) syahid karena kelaparan dan kekurangan gizi.
Gaza Terkepung, Jalan Kehidupan Dirusak
Sementara itu, pasukan Israel mundur dari Jalan Al-Jalaa di pusat Kota Gaza, setelah kemarin malam sempat menduduki kawasan strategis itu. Persimpangan Az-Zaharna di jalan tersebut dikenal sebagai titik vital yang menghubungkan Gaza utara dan selatan, menjadi jalur utama ambulans dan suplai bantuan, meski kini hanya tersisa reruntuhan akibat agresi.
Sejak 16 September, militer Israel mengumumkan operasi darat besar-besaran dengan mengerahkan pasukan reguler dan cadangan dari Divisi 98, 162, dan 36. Rencana pendudukan penuh Gaza ini sejatinya sudah disetujui kabinet Israel sejak 8 Agustus lalu, dipimpin Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, yang kini berstatus buronan Mahkamah Pidana Internasional atas tuduhan kejahatan perang.