Pengakuan sejumlah negara besar, terutama Prancis dan Inggris, terhadap negara Palestina yang merdeka dinilai sebagai titik balik penting dalam perjalanan panjang perjuangan rakyat Palestina. Para analis menegaskan, langkah ini bisa membuka harapan nyata bagi perdamaian sejati—jika disertai komitmen serius dalam implementasinya.

Dalam perkembangan yang belum pernah terjadi sebelumnya, gelombang negara bergegas mengakui Palestina sebagai respons atas genosida brutal yang terus dijalankan Israel di Gaza. Diperkirakan, beberapa negara Eropa kecil seperti Andorra, Belgia, Luksemburg, Malta, dan San Marino akan ikut bergabung, sehingga total 11 negara baru menambah daftar pengakuan. Jika tren ini berlanjut, lebih dari 150 negara anggota PBB akan resmi mengakui Palestina.

Harapan yang Bisa Hampa

Dosen diplomasi dan resolusi konflik Universitas Arab Amerika, Dallal Araikat, menilai momentum ini memberikan secercah harapan nyata: diplomasi yang selama ini buntu kini kembali punya jalan. Namun, ia menegaskan, pengakuan tanpa langkah konkret hanyalah “tsunami politik” yang kehilangan makna.

“Tidak cukup hanya mengibarkan bendera Palestina. Harus ada tindakan segera untuk menghentikan genosida di Gaza dan mencegah lenyapnya sisa tanah di Tepi Barat,” tegasnya.

Araikat menuntut agar negara-negara pengaku Palestina memimpin langkah tegas: menghentikan aliran senjata ke Israel, membekukan hubungan politik, dagang, dan keamanan, serta mematuhi keputusan pengadilan internasional yang menyeret para pemimpin Israel. Ia juga menyerukan larangan visa bagi semua warga pemukim Israel, bukan hanya yang disebut “ekstremis kekerasan.”

Lebih jauh, Araikat mengingatkan bahwa pengakuan ini sejatinya menghidupkan kembali peran Prancis dalam menegakkan hak penentuan nasib sendiri—hak yang pertama kali ditegaskan dunia setelah Perang Dunia I di Istana Versailles.

“Tetapi keputusan ini akan kosong bila tidak diikuti langkah nyata. Rakyat Palestina sedang ditembaki, diusir dari rumah, dan dibantai. Simbol saja tidak cukup,” katanya.

Dari Aula PBB ke Jalan Gaza

Dukungan terhadap Palestina kini semakin kuat di PBB, dengan sekitar 150 negara menyatakan pengakuan. Presiden Prancis Emmanuel Macron menegaskan bahwa rakyat Palestina “bukan bangsa yang bisa dibuang.” Sekjen PBB Antonio Guterres menambahkan, pengakuan ini adalah hak, bukan hadiah, dan tragedi 7 Oktober tidak bisa dijadikan alasan untuk menghukum seluruh bangsa Palestina.

Mantan pemimpin Partai Buruh Inggris, Jeremy Corbyn, menyebut pengakuan ini “emosional dan penting” dalam sejarah perjuangan Palestina. Namun, ia mengingatkan bahwa Prancis dan Inggris akan kehilangan kredibilitas bila masih terus memasok senjata dan intelijen ke Israel.

“Pengakuan harus diikuti perlindungan nyata: hentikan suplai senjata, kirim makanan dan obat-obatan, serta dorong isolasi terhadap AS yang masih berdiri di kubu Israel, Hungaria, dan Jerman,” ujar Corbyn.

Ia pesimis Donald Trump akan berubah haluan dalam waktu dekat. “Trump tetap mendukung Israel bahkan setelah menyaksikan serangan brutal di Gaza dan pencaplokan di Tepi Barat,” tambahnya.

Simbol Harus Jadi Aksi

Gelombang pengakuan Palestina bisa menjadi tsunami politik yang mengubah peta diplomasi dunia. Namun, tanpa keberanian mengubah simbol menjadi aksi, dunia hanya akan menambah daftar panjang janji yang tak pernah ditepati.

Rakyat Palestina, yang kini terkepung di Gaza dan dirampas di Tepi Barat, menanti: apakah dunia benar-benar siap berdiri di sisi mereka, atau hanya sekadar menandatangani sejarah tanpa mengubah kenyataan?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here