Pengakuan resmi Inggris, Kanada, Australia, dan Portugal atas Negara Palestina memicu gelombang pertanyaan besar: seberapa penting langkah ini bagi perjuangan rakyat Palestina, terutama di tengah genosida di Gaza serta proyek aneksasi dan kolonisasi di Tepi Barat?

Pengakuan Inggris menempati posisi khusus. Negeri yang dahulu menjadi sponsor lahirnya “Israel” kini justru meretakkan narasi itu sendiri. Tak heran jika politisi Israel marah besar, menyebut langkah ini sebagai “hadiah untuk terorisme.” Tetapi bagi rakyat Palestina, pengakuan ini adalah retakan bersejarah dalam tembok dukungan Barat terhadap penjajahan Israel.

Menurut Ibrahim Fraihat, pakar konflik internasional di Institut Doha, pengakuan ini menandai berakhirnya konsensus buta terhadap Israel. Untuk pertama kalinya sejak Perjanjian Oslo, jalur politik Eropa dan Amerika Serikat tampak berpisah, memberi tekanan nyata pada Washington. Ia menegaskan, “Apa yang tak berubah dengan tekanan, akan berubah dengan tekanan yang lebih besar.”

Jeremy Corbyn, mantan pemimpin Partai Buruh Inggris, menyebut pengakuan ini sebagai buah dari puluhan tahun advokasi publik dan gerakan solidaritas di negaranya. Tapi ia mengingatkan: langkah simbolis tak cukup. Pengakuan harus diikuti sanksi tegas, embargo senjata, dan penghentian dukungan pada mesin genosida Israel.

Israel Panik, Dunia Bergerak

Respons Israel atas gelombang pengakuan ini digambarkan oleh penulis Ihab Jabarin sebagai “reaksi panik.” Jika dulu Israel bisa meremehkan pengakuan semacam ini, kini arus pengakuan berubah menjadi “banjir” yang mengikis klaim mereka sebagai negara sah. Israel makin dipandang bukan sebagai negara terancam, melainkan kekuatan pendudukan permanen, pukulan langsung ke jantung proyek Zionis.

Perdana Menteri Benjamin Netanyahu pun mencoba berlindung di balik dukungan Amerika, memosisikan diri seolah menghadapi dunia dengan kekuatan Washington di sisinya. Namun bahkan langkah ini penuh risiko. Jika Israel benar-benar melanjutkan aneksasi Tepi Barat atau menghukum Otoritas Palestina, mereka bisa memicu gelombang pengakuan lebih luas lagi dari negara-negara Barat lain.

Tekanan Tak Terelakkan

Meski ada suara skeptis dari tokoh-tokoh Amerika seperti Mark Pfeifle, mantan pejabat Gedung Putih, yang menyebut pengakuan ini hanya simbolis, dinamika politik internasional justru menunjukkan sebaliknya. Uni Eropa mulai memperingatkan Netanyahu: jika pendudukan di Tepi Barat diperkuat, Israel harus siap menanggung konsekuensinya.

Gelombang pengakuan ini bukan akhir dari perjuangan, melainkan awal fase baru. Simbol kini berubah menjadi tekanan nyata. Dan jika dunia berani melangkah lebih jauh (sanksi, embargo senjata, hingga isolasi diplomatik) maka pintu menuju keadilan Palestina akan terbuka lebih lebar.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here