Dalam salah satu malam paling berdarah sejak 700 hari pembantaian, kota itu diguncang gelombang serangan udara Israel yang tak henti-henti hingga fajar. Langit Gaza menjelma lautan api dan asap pekat, sementara warganya dibiarkan sendirian menghadapi maut.
Penduduk setempat menyebut malam itu sebagai “yang paling intens dan paling mematikan sejak awal perang.” Pesawat tempur Israel menyalakan langit dengan rentetan bom yang menghantam kawasan pemukiman padat. Rumah-rumah rata dengan tanah, keluarga-keluarga terkubur di bawah reruntuhan, dan jeritan anak-anak menyatu dengan bunyi ledakan.
Di media sosial, kemarahan dan duka membanjiri lini masa. Aktivis Palestina dan Arab menyebut serangan ini sebagai “genosida yang disiarkan langsung di hadapan dunia yang memilih bungkam.”
“Seakan hari kiamat,” tulis seorang warganet. “Semua orang berlari dalam gelap, mencoba lari dari maut. Ini potret sejarah, saksi atas pembantaian terbesar di era modern.”

Yang lain menulis dengan getir: “Gaza dibombardir, Gaza dimusnahkan. Sebuah kota dihapus dari peta, warganya dibunuh dan diusir. Yang tersisa hanya abu yang mengepul dan suara hening dunia yang ikut bersalah.”
Kesaksian dari lapangan mengungkap penggunaan bom berkekuatan dahsyat yang dijatuhkan di blok-blok pemukiman penuh pengungsi. Hasilnya: pembantaian massal, keluarga utuh terhapus, sebagian besar korban adalah anak-anak dan perempuan. Tak hanya jet tempur, Israel juga mengerahkan helikopter, drone bersenjata, artileri berat, hingga buldoser militer yang menanamkan ton-ton bahan peledak untuk menghancurkan rumah-rumah. Puluhan syahid dan ratusan orang hilang tertimbun reruntuhan.
“Berapa lama lagi dunia akan diam?” tanya para aktivis. “Apakah Gaza harus mati sepenuhnya baru ada yang bergerak?”
Ironisnya, media Israel sendiri mengakui gempuran ini “besar dan sangat berdampak” serta meliputi hampir seluruh Gaza City. Sementara Menteri Pertahanan Israel, Yisrael Katz, dengan nada congkak berkata, “Gaza sedang terbakar, dan kami tidak akan mundur.” Ia mengklaim serangan ini menargetkan “infrastruktur teror,” padahal fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya: korban terbesar adalah warga sipil tak berdosa.