Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) menegaskan kecamannya terhadap sikap keras kepala Israel yang terus menolak upaya deeskalasi di Gaza. Pernyataan terbaru Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu—yang kini berstatus buronan Mahkamah Pidana Internasional, tentang gagasan “Israel Raya” dipandang sebagai bentuk provokasi politik yang berbahaya.
Dalam pernyataan penutup pertemuan darurat tingkat menteri luar negeri di Jeddah, Senin (25/8), OKI menyerukan Dewan Keamanan PBB segera menggelar sidang khusus terkait “agresi terhadap rakyat Palestina.” Organisasi itu juga menyoroti pembunuhan sistematis terhadap jurnalis di Gaza yang mereka sebut sebagai kejahatan perang terang-terangan.
OKI menyatakan dukungan terhadap mediasi Qatar, Mesir, dan Amerika Serikat untuk mendorong gencatan senjata, sekaligus menuntut dibukanya akses bantuan kemanusiaan tanpa hambatan, terutama bagi badan PBB UNRWA. Pertemuan juga menegaskan pentingnya peran Otoritas Palestina untuk mengelola seluruh wilayah pendudukan.
Nada peringatan paling keras datang dari Menteri Luar Negeri Saudi, Pangeran Faisal bin Farhan. Ia menegaskan, “ketika pelanggaran Israel terus berlangsung tanpa akuntabilitas, itu bukan hanya melukai Palestina, tapi juga meruntuhkan kredibilitas tatanan hukum internasional.” Faisal mendesak komunitas global segera menghentikan kejahatan yang dilakukan Israel.
Menteri Luar Negeri Turki, Hakan Fidan, menambahkan tekanan. Menurutnya, diperlukan gerakan Islam kolektif untuk menekan Israel secara terkoordinasi. “Pemerintah Israel tidak menginginkan perdamaian. Yang mereka kejar adalah menghapus eksistensi rakyat Palestina sepenuhnya, dan itu tidak bisa kita biarkan,” tegasnya.
Fidan juga memperingatkan bahwa provokasi kelompok ekstremis Israel, bahkan yang duduk di kabinet Netanyahu—menjadi ancaman nyata bagi kelangsungan Negara Palestina dan kesucian Masjid Al-Aqsa. Ia menekankan urgensi gencatan senjata permanen dan distribusi bantuan dalam skala luas.
Lebih jauh, Fidan menyoroti serangan Israel ke Suriah, Lebanon, hingga Iran. Menurutnya, pola serangan lintas batas itu bukan sekadar operasi militer, melainkan bagian dari agenda lebih besar yang “lebih licik” dan berpotensi menyeret seluruh kawasan ke dalam instabilitas kronis.