Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu meluncurkan salah satu kampanye propaganda paling agresif sejak pecahnya perang: penyangkalan sistematis terhadap adanya blokade dan kelaparan di Gaza. Kampanye ini muncul setelah militer Israel membunuh jurnalis Al Jazeera Anas al-Sharif, Muhammad Quraiqa, serta fotografer Ibrahim Zaher, Moamen Aloui, dan Muhammad Noufal.

Laporan mereka, yang berhasil mendokumentasikan realitas genosida di Gaza, meruntuhkan narasi resmi Israel. Sebagai gantinya, Tel Aviv mengubah “industri kebohongan” menjadi instrumen politik dan media, meluncurkan slogan: “Tidak ada kelaparan di Gaza.”

Kolumnis Haaretz, Gideon Levy, menulis bahwa kematian al-Sharif dan rekan-rekannya dekat Rumah Sakit al-Shifa bukanlah kebetulan, melainkan serangan terarah. Ia menyebut tuduhan bahwa al-Sharif adalah “komandan sel Hamas” hanya didasarkan pada satu foto bersama Yahya Sinwar. Levy menegaskan, sebagaimana kasus Shireen Abu Akleh, media Israel menggemakan narasi militer tanpa pertanyaan kritis—membungkam kebenaran bersama para jurnalis yang gugur.

Berbeda dari masa-masa awal perang, ketika Israel masih berusaha menutupi serangan terhadap rumah sakit dan jurnalis, kali ini militer bahkan merayakan keberhasilan menargetkan al-Sharif kurang dari satu jam setelah serangan.

Segitiga Propaganda

Narasi “tidak ada kelaparan” diulang Netanyahu, diperkuat militer, lalu digencarkan media lokal. Channel 12 menolak adanya krisis pangan, sementara Channel 13 menyebut laporan kelaparan sebagai “kebohongan Hamas.” Namun Haaretz membongkar jurang antara klaim resmi dan kondisi nyata: kelaparan yang semakin parah, diperkuat dengan bukti medis dan laporan kematian akibat busung lapar.

Segitiga pemerintah, tentara, dan media itulah yang membentuk mesin propaganda Israel, menyebarkan cerita seragam untuk menutupi kebijakan nyata berupa pengepungan dan kelaparan terorganisir.

Teori Konspirasi ala Tel Aviv

Reporter Haaretz, Nir Hasson, menyoroti bagaimana pemerintah Israel menyebut laporan PBB dan lembaga kemanusiaan sebagai “rekayasa.” Foto, video, hingga kesaksian medis dianggap palsu atau direkayasa oleh Hamas. Bahkan anak-anak kurus dan warga yang berebut bantuan pangan dituding sebagai “aktor bayaran.”

Dalam versi resmi Israel, dokter, perawat, hingga jurnalis asing hanyalah bagian dari panggung “teater kemanusiaan.” Bahkan penggunaan teknologi kecerdasan buatan dituding sebagai cara untuk menciptakan gambar-gambar manipulatif tentang penderitaan warga Gaza.

Narasi Palsu vs Bukti Lapangan

Yarden Michaeli, editor sains dan lingkungan Haaretz, menyebut narasi Israel itu tidak hanya menyesatkan, tapi juga kejam. Menurutnya, kondisi di Gaza jelas menunjukkan kelaparan akut, bahkan beberapa indikator sudah masuk kategori “famine” atau bencana kelaparan.

Bukti-bukti ini datang dari berbagai sumber, laporan organisasi bantuan, dokumentasi medis, kesaksian lapangan, dan data internasional. Ironisnya, sebagian konfirmasi justru keluar dari Israel sendiri, yang pada Maret lalu mengumumkan penghentian penuh pasokan makanan ke Gaza, sebelum kemudian mengaku hanya mengizinkan masuk rata-rata 71 truk bantuan per hari untuk lebih dari dua juta orang.

Realitas itulah yang mengungkap betapa jauh klaim resmi Israel dari kebenaran di lapangan: Gaza menghadapi kelaparan yang nyata, sementara propaganda mencoba menutupinya dengan lapisan kebohongan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here