Di tengah bencana kemanusiaan Gaza dan mandeknya upaya politik internasional menghentikan pembantaian, seni tampil sebagai “senjata simbolis” yang mampu membawa kisah rakyat Palestina ke dunia, hari ini, esok, dan untuk generasi yang akan datang.

Meski dihantam puluhan tahun penderitaan, seniman Gaza terus berkarya. Mereka menjadikan rasa sakit sebagai karya yang bersaksi tentang kekerasan pendudukan, sekaligus menegaskan tekad untuk tetap hidup.

Jejak Visual: Gaza yang Tak Bisa Dihapus

Pameran Gaza Remains the Story berusaha melampaui pemberitaan harian dengan menampilkan identitas budaya Gaza. Sementara itu, kelompok seni “Iltica” yang berdiri sejak 2002 tetap aktif, meski markas mereka berulang kali rusak akibat serangan. Dengan dana swadaya, mereka terus mengirim karya ke pameran dunia, memberikan residensi kreatif, hingga membuka ruang belajar melukis bagi anak-anak Gaza.

Panggung Perlawanan: Teater di Tengah Luka

Dalam Shubbak Festival di London, drama Application 36 mengguncang publik lewat satire politik yang menggambarkan Gaza tahun 2048 mengajukan diri sebagai tuan rumah Olimpiade. Dengan humor hitam, pentas ini memadukan fantasi masa depan dengan kenyataan getir hari ini.
Masih dalam festival itu, teater Return to Palestine garapan The Freedom Theatre dari Jenin, menceritakan diaspora muda Palestina yang pulang untuk pertama kalinya, dan disuguhi realitas pahit tanah kelahirannya. Dengan gaya komedi satir, para aktor bahkan bertransformasi menjadi hewan dan mobil, menciptakan pertunjukan yang segar dan provokatif.

Dari Reruntuhan ke Karpet Merah

Dua sutradara kembar, Arab dan Tarzan Nasser, mempersembahkan film Once Upon a Time in Gaza yang berlatar 2007, mengisahkan dua sahabat berjuang bertahan hidup di jalur terkepung. Film ini tayang perdana di Festival Film Cannes dan meraih penghargaan Sutradara Terbaik.
Selain itu, 22 sineas muda Gaza melahirkan film antologi From Ground Zero. Lewat dokumenter, drama, hingga animasi, mereka menuturkan fragmen kehidupan sehari-hari, hasil workshop jarak jauh yang dipimpin sutradara veteran Rashid Masharawi.

Musik dan Tari: Identitas yang Menyatu

Grup musik Sol, lahir di Gaza tahun 2012, menyatukan pop modern dengan warisan musik rakyat. Saat perang, mereka tetap bernyanyi dari ruang perlindungan, menyalurkan suara anak-anak Gaza ke dunia. Karya mereka pernah meraih penghargaan Institut Musik Prancis (2020).
Di Sydney Opera House, pertunjukan Artists for Peace menyajikan perpaduan dabke, nyanyian rakyat, dan sulaman tradisional Palestina. Lagu-lagu seperti “Ya Zarif al-Toul” hingga syair kerja dan pernikahan pra-Nakba menggema, dibawakan lintas artis dari Palestina, Lebanon, Turki, dan Siprus.

Seni sebagai Perlawanan

Bagi Gaza, seni bukan sekadar ekspresi atau hiburan. Ia adalah perlawanan, pengawal identitas, dan penopang memori kolektif bangsa. Ketika seorang pelukis mengangkat motif sulaman ke kanvas, atau musisi membawakan “Wen ‘a Ramallah”, itu bukan sekadar karya, melainkan pernyataan: Palestina ada, dan akan terus ada.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here