Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu kembali memicu kontroversi setelah secara terbuka mendukung visi “Israel Raya”, sebuah proyek Alkitab berlandaskan tafsir Talmud yang digunakan untuk membenarkan ekspansi wilayah. Langkah ini menghidupkan kembali janji lamanya untuk memimpin Israel menuju apa yang ia sebut “abad emasnya”, termasuk menampilkan peta “Israel Raya” di Sidang Umum PBB pada 22 September 2023.
Proyek ini telah lama menjadi agenda sayap kanan ekstrem Israel. Pada 2016, Bezalel Smotrich (kini Menteri Keuangan dari Partai Zionisme Religius) menyatakan bahwa “batas Israel harus mencakup Damaskus” serta wilayah di enam negara Arab lainnya: Suriah, Lebanon, Yordania, Irak, sebagian Mesir, dan sebagian Arab Saudi. Menurutnya, ini adalah bagian dari “mimpi Zionis dari Nil hingga Efrat”.
Smotrich kembali menggaungkan gagasan ini pada Maret 2023, bahkan berdiri di podium dengan peta yang menggambarkan Israel mencakup Palestina historis dan Yordania. Ide tersebut sejalan dengan agenda Partai Likud sejak era Menachem Begin (1977), yang mengganti istilah Tepi Barat dengan nama kitab suci “Yehuda dan Samaria” serta mendorong kolonisasi Yahudi secara masif.
Secara historis, konsep “Israel Raya” berpijak pada keyakinan religius bahwa “tanah yang dijanjikan” membentang dari Sungai Nil di Mesir hingga Sungai Efrat di Suriah dan Irak. Pandangan ini pernah diungkapkan pendiri Zionisme Theodor Herzl pada 1904, dan sejak itu diwariskan serta dipopulerkan oleh para pemimpin Zionis, termasuk kelompok bersenjata ekstremis seperti Irgun pada masa mandat Inggris.
Kini, Netanyahu berupaya mengubah doktrin lama itu menjadi kebijakan nyata di tengah perang genosida di Gaza sejak 7 Oktober 2023, serangan terhadap Suriah pasca-Desember 2024, dan ancaman perang dengan Lebanon. Dalam wawancara dengan kanal i24, ia menyebut “impian Israel” sebagai “misi lintas generasi” dan mengaku menjalankan “tugas spiritual dan historis” demi bangsa Yahudi.
Peta “Israel Raya” versi Netanyahu mencakup: seluruh Palestina historis (27.027 km²), Lebanon (10.452 km²), Yordania (89.213 km²), lebih dari 70% wilayah Suriah (sekitar 129.626 km²), setengah Irak (219.158 km²), sepertiga Arab Saudi (sekitar 716.000 km²), seperempat Mesir (250.000 km²), dan sebagian Kuwait (17.818 km²).
Jika diwujudkan, proyek ini akan mengubah peta kawasan dan merebut wilayah dari delapan negara Arab, menjadikannya ancaman geopolitik yang jauh melampaui pembantaian yang sedang terjadi di Palestina.
Sumber: Al Jazeera