Di lorong-lorong Rumah Sakit Mata Gaza, suara alat medis berpadu dengan bunyi monitor di ruang operasi. Di balik masker, wajah para dokter menampakkan kelelahan ekstrem. Mereka bekerja tanpa henti, dikepung blokade Israel yang telah menjerat Gaza selama hampir dua tahun, dalam perang pemusnahan yang menargetkan setiap denyut kehidupan.
Para dokter ini menjalani jam kerja panjang, bahkan berhari-hari tanpa istirahat layak, di tengah kelangkaan makanan. Roti menjadi barang langka, gula dan protein lebih mahal dari emas. Program Pangan Dunia PBB memperingatkan, sepertiga dari 2,4 juta penduduk Gaza sudah berhari-hari tak makan. Situasi ini digambarkan PBB sebagai krisis kelaparan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Sejak 7 Oktober 2023, serangan Israel membuat 61.430 warga Palestina syahid, melukai 153.213 orang (sebagian besar perempuan dan anak-anak) serta membuat lebih dari 9.000 orang hilang. Ratusan ribu warga terusir dari rumah, dan kelaparan telah merenggut 217 nyawa, termasuk 100 anak.
Blokade total diberlakukan sejak 2 Maret lalu. Ribuan truk bantuan tertahan di perbatasan, sementara rumah sakit kehabisan persediaan medis dan pangan.
Dokter Kehilangan Berat Badan, Tetap Operasi Setiap Hari
Muhammad al-Tayyib (33), dokter spesialis mata, mengaku berat badannya turun 10 kilogram sejak Maret lalu karena hanya makan sekali sehari. Operasi yang biasanya hanya satu kali sebulan, kini meningkat menjadi tiga kali sehari. Banyak pasien adalah korban tembakan Israel saat menunggu bantuan kemanusiaan.
Gaji dokter dibayar hanya sekali dalam dua atau tiga bulan, itu pun sekadar uang muka yang tidak cukup untuk membeli kebutuhan pokok. “Saya berjalan kaki beberapa kilometer ke rumah sakit. Gula, protein, bahkan makanan untuk ibu hamil dan anak-anak, semuanya hilang dari pasar,” ujarnya.
Bertahan dengan Cairan Infus
Direktur Rumah Sakit Mata, dr. Abdul Salam Sabbah, mengatakan banyak dokter pingsan di ruang operasi karena kelelahan dan kekurangan gizi. “Kami memberi mereka cairan infus agar tetap bisa bekerja,” ujarnya. Hampir semua tenaga medis datang dengan perut kosong, hanya mengandalkan satu kali makan sehari.
Kepala Departemen Anestesi, dr. Iyad Abu Kersh, menegaskan operasi penyelamatan penglihatan atau nyawa membutuhkan fokus tinggi dan energi besar. “Tapi kami bekerja dengan perut kosong dan tubuh lemah,” katanya.
Jantung Berdebar, Berat Badan Turun
dr. Maha Duban mengaku kehilangan 8 kilogram berat badan. “Jantung saya berdebar lebih cepat, tubuh lemas, kepala pusing, dan kami tidak mendapatkan vitamin atau protein. Tubuh butuh nutrisi. Tanpanya, mustahil memberi energi penuh untuk menyelamatkan pasien,” ujarnya.
Blokade dan kelaparan ini bukan sekadar krisis kemanusiaan, tetapi bagian dari strategi pemusnahan yang terus diabaikan oleh dunia internasional.