Di koridor sempit rumah sakit yang porak-poranda, tubuh-tubuh yang tak lagi patuh pada perintah otak berbaris menunggu giliran. Mereka adalah korban luka tulang belakang dan otak (terhantam pecahan roket dan peluru artileri) yang kini menanggung vonis seumur hidup akibat agresi Israel di Gaza.

Dr. Wael Khalifa, satu dari hanya tujuh dokter spesialis bedah saraf yang tersisa di wilayah ini, memperkirakan jumlah korban mencapai ribuan. Namun, 80% fasilitas kesehatan Gaza telah hancur, dan blokade rapat menutup semua jalan keluar. Pasien yang membutuhkan operasi mendesak tak bisa ke luar negeri, sementara obat-obatan, alat bantu, dan peralatan bedah nyaris tak tersisa.

Luka ini lebih dari sekadar fisik. Kerusakan pada tulang belakang kerap berujung pada kelumpuhan total, hilangnya kendali tubuh, dan ketergantungan penuh pada perawatan orang lain. Beberapa cedera bahkan mengenai titik vital pada tulang leher (mengatur napas dan detak jantung) yang membuat korban hidup bergantung pada tabung pernapasan, menunggu kematian yang kadang hanya soal waktu.

Angka penderita melonjak lebih dari 300% di atas kapasitas rumah sakit. Di Rumah Sakit Al-Wafa, satu-satunya pusat rehabilitasi yang beroperasi penuh, hanya ada 70 ranjang untuk menampung ratusan pasien lumpuh. Sebagian menunggu di rumah, sebagian lagi di tenda pengungsian, menderita luka yang membusuk hingga mengundang belatung, simbol telanjang dari runtuhnya sistem kesehatan.

Data Kementerian Kesehatan Gaza mencatat 18.500 pasien membutuhkan perawatan jangka panjang di dalam negeri, sementara 22.000 lainnya memerlukan pengobatan di luar negeri. Namun, di balik angka-angka itu, ada kisah yang lebih sunyi: seorang pria muda yang koma selama empat bulan, seorang lansia yang lumpuh dari leher ke bawah, dan ratusan keluarga yang setiap hari menatap orang yang mereka cintai terbaring tanpa daya.

Perang di Gaza tidak hanya merebut nyawa. Ia mencuri gerak, merampas kemandirian, dan memenjarakan tubuh-tubuh yang pernah bebas berjalan di jalanan kota. Setiap penundaan bantuan, setiap pintu perbatasan yang terkunci, berarti satu lagi kehidupan yang bergeser dari harapan menuju penyerahan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here