Kementerian Dalam Negeri di Gaza memperingatkan bahwa operasi penyaluran bantuan kemanusiaan lewat udara justru menambah derita rakyat Palestina. Alih-alih menyelamatkan, bantuan yang dijatuhkan dari langit telah menyebabkan jatuhnya korban jiwa dan luka-luka di kalangan warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak. Tenda-tenda pengungsi hancur, properti warga porak-poranda, semua terjadi di tengah bencana kelaparan yang melanda Gaza.
Dalam pernyataan resmi pada Rabu (7/8), kementerian menuduh Israel memanfaatkan mekanisme ini sebagai cara untuk “mengatur kekacauan” di lapangan, bagian dari strategi “rekayasa kelaparan” yang terikat dengan proyek genosida yang masih berlangsung.
“Penurunan bantuan lewat udara dimanfaatkan Israel untuk menyebar anarki, menambah kekacauan, dan membuka ruang bagi kejahatan serta penjarahan,” demikian isi pernyataan itu. “Warga berebut makanan di tengah kelaparan yang menggila, sementara kotak bantuan kerap jatuh di atas rumah dan tenda, mengakibatkan kematian dan cedera.”
Kementerian menegaskan, bantuan yang dijatuhkan dari udara “tidak memenuhi standar minimum kebutuhan hidup,” hanya ibarat setetes air di tengah samudra keputusasaan. Sebaliknya, ribuan truk bantuan yang siap memasuki Gaza melalui jalur darat justru dibiarkan terbengkalai karena semua gerbang ditutup sejak 2 Maret lalu oleh otoritas pendudukan.
Operasi penyaluran bantuan lewat udara sendiri mulai diizinkan Israel sejak 26 Juli, menyusul tekanan internasional yang meningkat dan peringatan keras dari PBB tentang ancaman kelaparan massal, terutama bagi lebih dari 100.000 anak-anak Gaza.
Namun, Kementerian Dalam Negeri Gaza menilai bahwa dampak negatif dari metode ini, mulai dari kekacauan hingga kerugian nyawa dan materi, jauh melebihi manfaatnya. “Satu-satunya jalan keluar dari bencana ini adalah membuka perbatasan darat secara permanen dan memastikan aliran bantuan makanan dan obat-obatan tanpa hambatan,” tegas mereka.
Mereka juga menyerukan kepada negara-negara yang terlibat dalam operasi udara ini untuk menghentikan langkah yang justru “mematikan” itu. “Pertimbangkan kembali. Ini bukan solusi, tapi jebakan kematian.”
Sebelumnya, Komisaris Jenderal UNRWA, Philippe Lazzarini, menegaskan bahwa bantuan udara sangat tidak memadai dan biayanya mencapai lebih dari 100 kali lipat dibandingkan pengiriman bantuan melalui darat.