Di antara debu kehancuran dan gemuruh kelaparan yang terus mencekik, sebuah bola kecil bergulir, dan bersama dengannya, tawa anak-anak Gaza pun mengudara.
Sebuah video yang diunggah oleh aktivis di Instagram pada Rabu (6/8) memperlihatkan sekelompok anak Palestina berlarian mengejar bola di antara tenda-tenda pengungsian. Di tengah blokade, bom, dan bayang-bayang kematian, anak-anak itu tetap bermain, tetap bernapas, tetap hidup.
Sepak bola, dalam kesederhanaannya, menjadi ruang perlawanan kecil terhadap mesin penjajahan. Gerakan kaki mungil mereka seolah menolak tunduk pada perang, seolah berkata: “Kami masih di sini, dan kami tidak akan hilang.”
Namun, di balik senyum kecil itu, derita terus mengendap.
PBB kembali menyerukan agar ratusan truk bantuan kemanusiaan dan logistik komersial diberi akses harian ke Gaza, dengan cepat dan tanpa hambatan. Tapi Israel, sejak beberapa hari terakhir, hanya mengizinkan segelintir truk masuk melalui perbatasan Karem Abu Salem di timur Rafah. Padahal, warga Gaza membutuhkan setidaknya 600 truk setiap hari agar bisa bertahan.
Hingga awal pekan ini, jumlah korban jiwa akibat kebijakan blokade dan kelaparan yang disengaja telah mencapai 180 orang, termasuk 93 anak-anak, termasuk lima nyawa yang hilang hanya dalam satu hari terakhir karena kekurangan gizi.
Tak hanya tubuh, dunia olahraga Palestina pun dihancurkan. Data dari Asosiasi Sepak Bola Palestina mencatat, 762 orang dari dunia olahraga gugur sejak serangan besar dimulai pada 7 Oktober 2023. Dari jumlah itu, 422 adalah pemain sepak bola. Sebanyak 267 fasilitas olahraga (lapangan, stadion, markas klub, dan gedung federasi) telah diratakan oleh bom.
Dan di tengah reruntuhan itulah, anak-anak itu menendang bola.
Karena mereka tahu, di tanah yang terjajah, bermain adalah bentuk perlawanan. Dan sepak bola, adalah harapan yang masih bisa mereka genggam.
Sumber: Al Jazeera