Sebuah operasi kompleks yang dilakukan Brigade Al-Qassam di Khan Younis, Gaza Selatan, memunculkan tanda tanya besar bagi militer Israel, apakah mereka benar-benar menguasai wilayah yang mereka duduki?
Kolonel Hatem Karim Al-Falahi, analis militer dan strategi, menyebut operasi yang berlangsung Sabtu lalu di kawasan Abasan Al-Kabira itu sebagai manuver militer yang punya dampak lebih dari sekadar serangan biasa. Dalam tayangan eksklusif Al Jazeera, dua kendaraan lapis baja milik tentara Israel tampak hancur disergap di wilayah yang dianggap “aman.”
Yang membuat operasi ini semakin simbolik: lokasi penyerangan adalah tempat yang sama di mana seorang perwira Israel terbunuh pada Februari lalu, dalam insiden yang menyebabkan tewasnya tiga tentara, termasuk komandan pasukan mereka.
Menurut Falahi, keberhasilan ini menandakan kecakapan luar biasa para pejuang Palestina dalam menembus garis belakang musuh dan mengeksekusi operasi berisiko tinggi secara presisi. Ia menilai, para pelaksana operasi memiliki pemahaman geografis yang sangat mendalam, bukan hanya soal medan, tapi juga pola pergerakan militer Israel.
Lebih jauh lagi, Falahi mengungkap bahwa operasi serupa pernah terjadi di titik yang sama tahun lalu, yang saat itu juga menghancurkan kendaraan militer Israel. Ini menunjukkan bahwa wilayah tersebut bukan sekadar arena tempur acak, melainkan medan yang telah dikuasai secara strategis oleh komando perlawanan yang konsisten dan berpengalaman.
Falahi menyoroti bahwa taktik Israel (yang dikenal dengan pendekatan “lewati dan tinggalkan” atau bypass strategy) telah menciptakan celah mematikan. Dengan hanya fokus merebut area depan tanpa mengamankan zona belakang, militer Israel justru membuka ruang bagi kantong-kantong perlawanan yang tetap aktif dan siap menyerang kapan saja.
Evolusi Taktik: Dari Penyergapan ke Teror Psikologis
Falahi menegaskan, yang membuat operasi ini semakin signifikan adalah kesederhanaan namun efektifnya eksekusi: hanya satu pejuang yang membawa bom rakitan, menyusup dan melemparkannya langsung ke dalam kendaraan musuh yang terbuka. Momen itu menjadi ledakan ganda, secara harfiah dan simbolis. Bom yang meledak di dalam kendaraan memicu amunisi yang tersimpan, menciptakan kehancuran total dan nyaris tanpa peluang penyelamatan bagi awaknya.
Operasi semacam ini, yang terus berulang dalam bentuk-bentuk tak terduga, menurut Falahi, tak hanya merusak fisik kendaraan tempur Israel, tetapi juga menorehkan luka psikologis dalam-dalam di benak para tentaranya. Ketakutan akan “bom di balik bayangan” membuat setiap pergerakan mereka kini dibayang-bayangi rasa waswas.
Akibatnya, keputusan militer Israel pun terdampak secara strategis. Mereka kini harus memperhitungkan kemungkinan adanya jebakan di setiap sudut kota, jalan, atau bahkan di dalam bangunan-bangunan kosong.
Falahi menegaskan, efek domino dari operasi ini tak bisa disepelekan. Secara manusiawi, korban terus bertambah; secara finansial, kendaraan mahal dan teknologi canggih luluh lantak; secara logistik, biaya perawatan, pengganti, hingga evakuasi medis semakin membengkak.
Ironisnya, kata Falahi, tanda-tanda kelelahan tentara Israel kini mulai terlihat jelas. Bahkan dua kendaraan lapis baja dalam serangan ini tidak dilindungi oleh unit infanteri pendamping, sesuatu yang seharusnya jadi protokol standar dalam kondisi normal.
Sumber: Al Jazeera