Di Gaza, ketika perang, kelaparan, dan penyakit berpadu, para lansia menjadi korban paling sunyi dari tragedi kemanusiaan ini. Tubuh mereka yang telah renta kini tinggal tulang terbungkus kulit, dihantam kekurangan gizi parah dan penyakit kronis yang tak kunjung diobati.

Di Pusat Layanan Lansia “Al-Wafa”, satu-satunya tempat yang merawat lansia tanpa keluarga di Gaza, para petugas medis tak punya pilihan selain mengurangi jumlah makanan yang tersedia agar bisa bertahan beberapa hari lagi.

“Kami telah kehilangan lebih dari separuh lansia yang dulu kami rawat. Sebagian wafat karena kelaparan, sebagian lagi karena ketakutan dan serangan udara,” ujar dr. Mo’taz al-Munasirah, dokter penanggung jawab pusat tersebut.

Dari Empat Roti ke Dua

Sejak awal Maret, stok makanan terus menyusut. Kini, makanan para lansia hanya berupa karbohidrat murah seperti nasi, lentil, dan sup encer. Tak ada protein. Tak ada sayur. Tak ada buah. Beberapa dari mereka bahkan menolak makan karena bosan dengan menu yang terus diulang.

Dulu mereka bisa makan empat roti sehari. Sekarang hanya dua. Itupun harus dibagi dengan penuh perhitungan agar cukup untuk beberapa hari ke depan. Tanpa tepung, hanya sup lentil yang bisa disajikan untuk makan siang. Sementara sabun, popok, dan alat kebersihan pribadi pun makin langka karena blokade yang kian ketat.

Menolak Makan, Merindukan Sayur dan Buah

“Kami butuh sayuran. Buah. Susu. Daging. Makanan seperti dulu,” pinta salah satu lansia, dengan suara pelan yang hampir tak terdengar. Yang lain mengeluh karena sudah berhari-hari tak buang air besar akibat hanya makan lentil dan roti.

Tim perawat harus membujuk mereka selama berjam-jam agar mau makan. Namun mereka tetap bertanya, “Mana buahku hari ini?”, pertanyaan yang tak lagi bisa dijawab.

Menurut ahli gizi dari pusat tersebut, hanya karbohidrat yang kini tersedia. Padahal tubuh mereka yang lemah butuh protein, lemak, dan nutrisi lengkap. Tanpa itu, massa otot menyusut, dan kemampuan mereka untuk bergerak makin menurun. Dulu kekurangan bisa ditambal dengan suplemen, tapi kini semuanya telah habis, bahkan dari lembaga kemanusiaan.

“Jika kondisi ini berlanjut,” kata sang ahli gizi, “para lansia akan masuk ke tahap kelima malnutrisi, tahap yang bisa menyebabkan kematian massal.”

23 Jiwa Telah Pergi, dan Sisanya Menanti Nasib

Dr. Fuad Najm, Direktur Pusat Al-Wafa, menceritakan bahwa sebelum perang, mereka merawat 43 lansia. Namun kini hanya tersisa 20. Sebanyak 23 lainnya telah berpulang, karena lapar, karena serangan, atau karena tidak tahan hidup dalam ketakutan.

Bangunan utama pusat ini sebelumnya berada di Kota Zahra. Tapi bulan pertama perang, tempat itu dibombardir langsung. Mereka sempat mengungsi ke RS Yafa di Deir al-Balah, lalu pindah lagi ke lokasi lain di Gaza, semua dalam kondisi penuh tekanan.

“Kami merawat mereka yang tak punya siapa-siapa. Tak ada anak. Tak ada kerabat. Mereka hanya punya kami,” kata dr. Najm. “Dan kami kehabisan segalanya.”

Tangisan, ketakutan, trauma, dan luka kini menjadi teman tidur mereka. Mereka yang tersisa hanya bisa menunggu: apakah esok masih bisa makan? Apakah suara roket berikutnya akan mengenai atap mereka?

620 Nyawa Telah Hilang karena Kelaparan

Menurut data terbaru dari Kementerian Kesehatan Gaza, 620 warga Palestina telah syahid akibat kekurangan makanan dan obat. Mereka bukan hanya angka, mereka adalah manusia, orang tua, kakek, dan nenek—yang semestinya menghabiskan usia senja dalam damai, bukan dalam kelaparan dan guncangan perang.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here