Hanya diberi waktu 30 menit. Itulah ultimatum yang diterima para pengungsi di Sekolah Yafa, Kota Gaza, dari seorang perwira intelijen Israel melalui panggilan telepon. Mereka diperintahkan segera mengosongkan sekolah sebelum dihancurkan rudal. Kepanikan pun menyebar di antara ribuan orang yang terpaksa kabur dengan tergesa-gesa, meninggalkan harta benda mereka, lalu menghabiskan berjam-jam di jalanan mencari perlindungan baru.
Kejadian serupa sudah berulang sejak Juni lalu, saat lebih dari 11 sekolah yang menjadi tempat perlindungan darurat dihancurkan. Semua ini menunjukkan adanya rencana sistematis Israel untuk mengosongkan wilayah luas di Gaza dan memaksa lebih dari dua juta penduduk Palestina terkurung di area sempit, tak lebih dari 20% total wilayah Gaza yang kini sudah porak-poranda.
Serangan yang Semakin Gencar
Pekan terakhir, serangan Israel ke pusat-pusat penampungan melonjak tajam. Ribuan warga Gaza kini terpaksa memasang tenda di jalanan atau di pantai, tanpa air bersih dan kebutuhan dasar lain.
Para pengungsi mengaku putus asa karena terus-menerus harus berpindah, bahkan di kamp pengungsian milik UNRWA pun tak ada jaminan aman. Menurut data komite darurat Gaza, rata-rata satu sekolah yang dijadikan tempat penampungan menampung lebih dari 4.000 orang.
Kepala Kantor Media Pemerintah Gaza, Ismail Al-Thawabta, menegaskan bahwa Israel telah menghancurkan 256 pusat penampungan sejak awal agresi. Lebih dari 700.000 pengungsi yang tadinya kehilangan rumah terpaksa kembali terusir, kehilangan semua sarana hidup layak.
Al-Thawabta menyebut serangan ke pusat penampungan sebagai “kejahatan ganda” yang disengaja untuk memaksa perpindahan massal dan mempercepat pengosongan wilayah, sekaligus meneror penduduk yang sudah kehilangan segalanya.
Mengejar Kendali Penuh
Dalam beberapa pekan terakhir, Israel juga menghancurkan puluhan gedung tinggi berisi ratusan keluarga Palestina, memaksa semakin banyak orang kehilangan tempat tinggal.
Berdasarkan data yang dilansir Kantor Berita Sanad (Jaringan Al Jazeera), perintah evakuasi Israel kini mencakup sekitar 282,8 km persegi, atau 78% dari total luas Gaza (364,8 km persegi).
Kini, warga Gaza dipaksa berdesak-desakan di kantong-kantong sempit di bagian barat Kota Gaza, wilayah tengah, dan bagian barat Khan Younis. Situasi ini sejalan dengan tujuan operasi militer Israel “Kereta Gideon” yang diluncurkan pada Mei lalu untuk menduduki wilayah Gaza seluas mungkin.
Channel 14 Israel bahkan mengutip laporan militer bahwa Israel kini mengklaim menguasai 60% Gaza dan berencana menambahnya hingga 80% dalam dua sampai tiga pekan. Sementara itu, UNRWA melaporkan bahwa lebih dari 82% wilayah Gaza kini berada di bawah perintah evakuasi, tanpa tempat aman yang tersisa bagi penduduk.
Sebuah kajian terbaru dari pusat riset di Gaza menyebut bahwa kebijakan ini sengaja dirancang untuk memaksakan realitas demografi baru, dengan serangan masif, penciptaan zona larangan kembali, dan wilayah buffer (penyangga) di utara dan timur yang tak bisa dihuni bahkan setelah perang selesai.
Mengubah Wajah Gaza
Menurut Rami Khreis, Direktur Pusat Studi Politik dan Pembangunan Gaza, agresi Israel tahap terbaru ini menunjukkan pergeseran fokus: tak hanya menargetkan kekuatan militer perlawanan, tapi juga bertujuan merombak struktur demografis Gaza untuk kepentingan strategis jangka panjang.
Dalam wawancaranya dengan Al Jazeera Net, Khreis menjelaskan, penghancuran menara dan kompleks pemukiman mengindikasikan rencana Israel untuk memaksa penduduk meninggalkan wilayah tertentu. Serangan berulang ke tempat penampungan juga memperkuat dugaan bahwa Israel berusaha mencegah warga kembali ke daerah asal mereka, mendorong perpindahan berulang, atau bahkan memaksa mereka keluar dari Gaza sama sekali.
Khreis menilai, klaim “menghancurkan perlawanan” hanya tujuan permukaan. Tujuan tersembunyi jauh lebih besar: memecah struktur sosial, memaksakan realitas geografi baru, dan mencegah Gaza bangkit kembali seperti sedia kala. Daerah seperti Shujaiya, Rafah, dan utara Gaza diproyeksikan menjadi wilayah kosong atau zona penyangga yang luas.
Ia menambahkan, saat infrastruktur dihancurkan total, sulit membayangkan Gaza bisa kembali normal. Penduduk pun didorong berkumpul di kantong-kantong sempit seperti Al-Mawasi di selatan, Deir Al-Balah, dan beberapa area di Nuseirat dan Maghazi di wilayah tengah.
“Semua ini bagian dari proyek ‘Gaza terfragmentasi’ atau ‘kantonisasi’, menyiapkan realitas politik pascaperang yang tak lagi memungkinkan kembalinya kendali penuh Palestina atas Gaza,” tegas Khreis.
Menurutnya, apa yang terjadi bukan sekadar pertempuran militer. Ini adalah upaya pemaksaan peta demografi baru melalui kekerasan, kelaparan, dan pengungsian berulang. Semua diklaim demi “keamanan Israel”, tapi harga yang dibayar adalah hak rakyat Palestina untuk hidup, bertahan, dan kembali ke tanah mereka.
Sumber: Al Jazeera