Lebih dari 1.500 orang dari Tunisia, Aljazair, Maroko, dan Libya bergerak menuju Gaza dalam misi kemanusiaan terbesar sejak 17 tahun terakhir. Mereka membawa bantuan, harapan, dan suara solidaritas untuk rakyat Palestina. Tapi ironi itu datang bukan dari Israel, melainkan dari tanah Arab sendiri.
Konvoi “Ash-Shumud Maghribiya”, yang seharusnya menjadi lambang perlawanan terhadap blokade Gaza, kini justru terperangkap di antara tembok politik Libya. Bukan dicegat tentara penjajah, tapi dihadang oleh sesama bangsa Arab.
Disambut di Tripoli, Diblokir di Sirte
Awalnya, semangat rakyat membara. Bus-bus dan mobil pribadi dipenuhi bantuan medis dan makanan. Warga Libya barat menyambut dengan tangan terbuka, pemerintah lokal memberi pasokan logistik dan pengamanan penuh.
Namun begitu konvoi mendekati perbatasan timur, segalanya berubah. Pasukan keamanan menghentikan mereka dengan dalih prosedur keamanan yang belum lengkap. Bantuan tak lagi mengalir. Peserta ditahan. Bahkan sinyal komunikasi diputus.
Kekerasan dan Pelecehan di Titik Henti
Laporan dari lokasi menyebutkan adanya pelecehan terhadap peserta perempuan, pemutusan jaringan internet, dan penggunaan alat pengacak sinyal untuk mengisolasi mereka dari dunia luar. Lampu sorot dinyalakan sepanjang malam agar peserta tak bisa tidur. Empat orang ditangkap hanya karena menyebarkan video dari lokasi.
Di titik akhir yang masih dikuasai Pemerintah Persatuan, tim bantuan didirikan untuk merawat peserta yang sakit dan mundur paksa.

Suara Gaza Terkunci di Gerbang Arab
Konvoi ini bukan sekadar rombongan bantuan. Ia adalah simbol. Ia membawa pesan bahwa Gaza tidak sendirian. Tapi simbol itu kini terkunci. Disandera bukan oleh musuh, melainkan oleh birokrasi dan konflik internal yang sudah terlalu lama melumpuhkan solidaritas Arab.
Satu per satu peserta konvoi mulai kehilangan harapan. “Kami tidak akan negosiasi apa pun sebelum saudara kami dibebaskan,” tegas juru bicara dalam siaran langsung terakhir, yang kini menjadi satu-satunya pesan tersisa, karena komunikasi selanjutnya terputus.
Pertanyaan yang Tak Bisa Lagi Dihindari
Jika blokade Israel sudah membunuh Gaza dari luar, maka birokrasi Arab membunuh solidaritas dari dalam. Lalu, untuk siapa kita membangun solidaritas, jika ia selalu terhenti di gerbang sesama saudara?