Kemunculan kelompok bersenjata yang menamakan diri “Brigade Syahid Muhammad Deif” dan klaim mereka atas serangan ke posisi militer Israel di Dataran Tinggi Golan memunculkan tanda tanya besar: siapa mereka sebenarnya, dan untuk kepentingan siapa mereka bergerak?
Kelompok ini mengaku bahwa serangan yang mereka lancarkan adalah balasan atas pembantaian yang berlangsung di Gaza. Tapi pengamat menilai, kemunculan mereka bukan sekadar manuver perlawanan—melainkan bisa jadi bagian dari skenario perebutan pengaruh yang jauh lebih besar di kawasan.
Muhannad Mustafa, pakar urusan Israel, melihat kemunculan kelompok ini sebagai sinyal hilangnya kendali keamanan Israel. Meski Tel Aviv mencatat “keberhasilan” di Lebanon dan Suriah, namun tanpa pendekatan politik yang seimbang, semua itu bisa menjadi bumerang strategis.
“Ketiadaan visi politik akan membuka celah, dan Israel tahu itu. Mereka khawatir, karena setiap perubahan di Timur Tengah saat ini tampaknya tidak lagi menguntungkan mereka,” ujarnya kepada Al Jazeera. Ia merujuk pada pembicaraan AS dengan Iran, serta pendekatan diplomatik dengan kelompok Houthi di Yaman.
Namun tak semua menyambut hangat kemunculan kelompok ini.
Kamal Abdo, akademisi politik dari Universitas Al-Syam di Idlib, menyebut langkah mereka sebagai “pemanfaatan murahan” atas nama syahid Muhammad Deif. Ia menduga kuat bahwa ada operasi intelijen regional—dengan Iran di balik layar—yang berusaha menyeret Suriah ke dalam konflik baru, saat negara itu baru mulai merangkak keluar dari keterpurukan pasca-perang.
Israel sendiri merespons cepat. Dua roket Grad dilaporkan ditembakkan dari arah Daraa, Suriah selatan, dan jatuh di wilayah terbuka Golan. Jet tempur Israel pun membalas dengan pelanggaran wilayah udara Suriah hingga memecahkan penghalang suara.
Menteri Pertahanan Israel bahkan secara langsung mengancam Presiden Suriah yang baru, Ahmad Al-Sharaa: “Setiap tembakan akan dibalas. Kami akan merespons dengan keras dan segera.”
Namun Brigjen Elias Hanna mengingatkan: berhati-hatilah. Serangan ini bisa jadi lebih bersifat politis daripada militer. “Ini peluru politik. Tidak cukup untuk mengubah peta militer di Golan, tapi cukup untuk membuat semuanya gugup,” ujarnya.
Sejak Desember 2024, Suriah telah berubah drastis. Rezim Assad tumbang. Partai Ba’ath menghilang. Namun Israel tampaknya belum siap menerima peta baru di perbatasannya—dan memilih mengacaknya lagi, meski dengan risiko membuka front baru.