Enam ratus hari sejak Israel memulai serangan brutal ke Jalur Gaza, peringatan ini justru dipenuhi dengan cermin keputusasaan dari dalam negeri sendiri. Pers Israel ramai-ramai menyoroti kegagalan pemerintah Netanyahu yang tak kunjung mampu mencapai tujuan militernya: menghabisi Hamas, membebaskan tawanan, dan menjamin keamanan jangka panjang.

Alih-alih kemenangan, yang tersisa hanyalah kekacauan. Perang yang awalnya diklaim sebagai respons terhadap serangan Hamas, kini menjelma menjadi pusaran konflik yang menyebar dari Gaza ke Tepi Barat, Lebanon, Suriah, hingga Yaman dan Iran. Sementara itu, dalam negeri Israel sendiri diguncang oleh perpecahan politik dan krisis arah.

“Netanyahu Menyeret Negara ke Jurang Strategis”

Dalam artikel tajam yang diterbitkan Yedioth Ahronoth, analis politik Elisha Ben Kimon menyebut bahwa tidak ada yang berubah di Gaza: “Pemerintah gagal total. Netanyahu lari dari tanggung jawab dan mendorong Israel ke dalam kebuntuan strategis.”

Meski militer Israel mengklaim telah menewaskan 20 ribu pejuang Hamas dan menghancurkan sebagian besar wilayah Gaza, pasukan pendudukan tetap harus kembali berulang kali ke wilayah yang sama. “Hamas memang terpukul, tapi mereka masih ada, bergerak, dan bernapas,” tulisnya.

Distribusi bantuan langsung yang digembar-gemborkan sebagai strategi memecah Hamas, menurutnya, hanya jadi sandiwara. Upaya pemerintah gagal total, bahkan di tempat-tempat simbolik seperti Rumah Sakit Syifa, Rafah, hingga Jalan Philadelphi. “Yang berubah hanya waktu, bukan realita,” sindirnya.

Soal sandera, Israel baru berhasil mengembalikan 145 dari 251 orang yang diculik pada 7 Oktober 2023. Sisanya, termasuk yang sudah meninggal, belum berhasil dibebaskan. “Saya tidak berharap belas kasihan dari organisasi perlawanan,” tulis Ben Kimon, “Tapi saya berharap pemerintah saya cukup cerdas untuk membuat penculik menyesal.”

Ketidakamanan yang Masih Nyata, Pemimpin yang Masih Ragu

Keamanan yang dijanjikan Netanyahu tetap sebatas mimpi. Roket masih ditembakkan dari Gaza, Houthi terus menyerang pelayaran Laut Merah, dan warga perbatasan selatan belum berani kembali ke rumah mereka.

Penyebabnya, kata Ben Kimon, adalah karakter Netanyahu: suka mengulur waktu dan takut ambil keputusan. Di dalam kabinet, tarik-menarik ideologi antara ultra-kanan seperti Ben Gvir dan Smotrich dengan kelompok moderat membuat setiap keputusan strategis menjadi buntu. “Hasilnya: lumpuh total. Tidak menang, tidak mundur.”

Ia membandingkan kekacauan di Gaza dengan “kesuksesan” Israel di Tepi Barat yang justru mengalami ekspansi pemukiman ilegal secara masif. “Di sana mereka punya visi dan eksekusi. Di Gaza, yang ada hanya kebingungan dan ketakutan.”

Avi Ashkenazi: “Israel Terjebak, Tidak Tahu Jalan Keluar”

Avi Ashkenazi, jurnalis militer Maariv, menegaskan bahwa masalah utama bukan kekuatan tempur, tapi kehampaan politik. Dalam artikelnya yang diterbitkan bertepatan dengan 58 tahun Perang Enam Hari, ia menulis: “Dulu kami bisa menaklukkan setengah Timur Tengah dalam enam hari. Kini, hampir dua tahun berlalu, kami tak mampu mengalahkan pasukan bersenjatakan Kalashnikov.”

Ia menyebut Israel tidak memiliki peta jalan. Tidak tahu apakah ingin menggulingkan Hamas, menjajah Gaza, atau hanya menciptakan efek jera. Di dalam pemerintah sendiri, tak ada kesepakatan atas nama operasi militer, apalagi tujuannya.

“Yang satu ingin pendudukan kembali, yang lain hanya ingin perang tanpa akhir,” tulisnya. “Sementara itu, 58 sandera masih belum kembali, dan perang ini masih tanpa nama, tanpa batas waktu, tanpa arah.”

Ben Caspit: “Netanyahu Menang untuk Dirinya Sendiri, Negara Kalah”

Dalam artikel pedasnya di Maariv, jurnalis senior Ben Caspit menilai bahwa inilah salah satu fase tergelap dalam sejarah Israel. Ia menyebut serangan 7 Oktober sebagai “kekalahan paling memalukan” sepanjang sejarah Israel.

Hamas berhasil menembus pertahanan, menghancurkan pos militer, membunuh ratusan warga dan prajurit, serta menciptakan kepanikan eksistensial yang belum pernah terjadi sejak perang pendirian negara.

Walau tentara Israel berhasil bangkit dan membalas, momentum militer ini justru tak diubah menjadi prestasi politik. Netanyahu, menurut Caspit, langsung fokus menyusun “strategi bertahan di kekuasaan” alih-alih menyusun strategi keluar dari krisis.

Ia juga menyindir Netanyahu yang hanya mencari kambing hitam dan memanfaatkan masuknya Gantz dan Eisenkot ke kabinet sebagai tameng politik.

Alih-alih memperbaiki posisi Israel di mata internasional, Netanyahu justru mengarahkan Israel menjadi “negara paria” di ujung sanksi dan pengakuan negara Palestina.

“Bangsa Ini Butuh Simbol Kemenangan, Bukan Kelelahan”

Penulis Israel Hayom, Karni Eldad, menggambarkan rasa lelah kolektif yang melanda seluruh elemen masyarakat. Dari tentara, keluarga sandera, hingga rakyat biasa, semua diselimuti kelelahan perang yang tak berujung.

“Selama 600 hari, kita belum menang. Napoleon bisa mengubah peta Eropa dalam waktu yang sama. Julius Caesar menaklukkan Galia. Tapi kita? Kita bahkan belum berhasil pulangkan semua sandera.”

Eldad menyebut bangsa Israel pantas mendapatkan “gambar kemenangan”. Ia menyerukan agar babak ini diakhiri dengan cara yang layak. “Rakyat ini pantas untuk beristirahat. Untuk menyembuhkan luka. Untuk hidup damai, setidaknya selama 40 tahun ke depan, sebelum putaran perang berikutnya.”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here