Di saat dunia memperingati Hari Kebebasan Pers Internasional pada 3 Mei, Gaza justru menyambut hari ini dengan darah, puing-puing, dan suara-suara yang dibungkam. Kantor Media Pemerintah di Gaza menyebut Israel telah melakukan “genosida media yang sistematis” sejak agresi brutal yang dimulai 19 bulan lalu.
Dalam pernyataan resmi menjelang Hari Kebebasan Pers, pihaknya menegaskan: “Para jurnalis Gaza disembelih secara live di depan dunia oleh senjata pendudukan Israel.”
Saat Dunia Merayakan, Gaza Berkabung
3 Mei ditetapkan sebagai Hari Kebebasan Pers Dunia oleh PBB sejak 1993. Namun di Gaza, peringatan ini jauh dari kata perayaan. Di tengah sorak-sorai dunia atas kebebasan berekspresi, di Gaza justru darah jurnalis mengalir di jalanan.
Kantor-kantor media dibom, mobil peliputan dihancurkan, kamera dan pena dipatahkan, rumah-rumah jurnalis dihantam rudal, bahkan banyak yang syahid bersama keluarganya di bawah reruntuhan—hanya karena mereka memilih menyampaikan kebenaran.
Catatan Berdarah:
- 212 Jurnalis Gugur
- Sejak awal genosida, 212 jurnalis—baik reporter, fotografer, maupun editor yang bekerja untuk media lokal dan internasional—telah gugur.
- Sementara itu, 409 lainnya mengalami luka, beberapa mengalami cacat permanen.
- Tak hanya itu, 48 jurnalis ditangkap dan sebagian disiksa atau mendapat perlakuan tidak manusiawi, pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional.
- Tak kurang dari 143 lembaga media telah menjadi sasaran, termasuk: 12 surat kabar cetak23 media daring11 stasiun radio4 saluran TV lokal dan internasional12 kantor televisi Arab dan asing yang dihancurkan sepenuhnya
- Sebanyak 44 rumah milik jurnalis hancur, 21 aktivis media di media sosial turut syahid, percetakan diledakkan, peralatan siaran dan kamera dihancurkan, serta puluhan akun media digital diblokir dengan dalih “melanggar standar komunitas.”

Kerugian Media Capai Rp6,5 Triliun
Menurut Kantor Media Gaza, total kerugian sektor media akibat agresi ini diperkirakan mencapai 400 juta dolar AS—lebih dari Rp6,5 triliun. Ini bukan sekadar serangan terhadap gedung dan perangkat, tapi “perang total terhadap manusia, bangunan, gambar, suara, dan kata-kata.”
Mereka pun mendesak PBB, Dewan HAM, Reporters Without Borders, dan semua lembaga kebebasan pers dunia untuk:
- Meluncurkan penyelidikan independen terhadap kejahatan terhadap jurnalis
- Menyediakan perlindungan internasional darurat bagi jurnalis Palestina
- Membongkar blokade informasi yang diberlakukan atas GazaSeruan Mendesak: Hentikan Kejahatan Terhadap Jurnalis
Di sisi lain, Serikat Jurnalis Palestina menuntut penghentian segera atas kejahatan Israel terhadap jurnalis di Gaza dan Tepi Barat. Mereka juga mendesak:
- Pembebasan semua jurnalis dari penjara Israel
- Pemulihan kehidupan pers di Gaza
- Rekonstruksi kantor media dan radio lokal
- Penyediaan sarana dan dukungan teknis yang layak
Serikat ini menegaskan perlunya penerapan prinsip hukum internasional:
“Tak boleh ada kekebalan hukum bagi pembunuh jurnalis dan pelaku kejahatan terhadap pers.”
Hingga kini, 55 jurnalis masih mendekam di penjara Israel dari total 177 yang ditangkap sejak 7 Oktober 2023.

Di Gaza, Jurnalisme Adalah Ibadah yang Dibayar Nyawa
Seperti sekitar 2,4 juta penduduk Gaza lainnya yang telah dikepung Israel selama 18 tahun, para jurnalis dan keluarga mereka hidup dalam ancaman: dari pembunuhan, penangkapan, kelaparan, kehausan, hingga keterbatasan layanan medis paling dasar.
Sejak 7 Oktober 2023, Israel—dengan dukungan penuh dari Amerika Serikat—telah melancarkan genosida brutal yang menewaskan dan melukai lebih dari 170 ribu warga Palestina, termasuk ribuan anak dan perempuan. Lebih dari 11 ribu orang masih dinyatakan hilang.
Dan di tengah reruntuhan itulah, para jurnalis Gaza tetap memilih bertahan. Karena bagi mereka, menyuarakan kebenaran bukan sekadar profesi—melainkan bentuk perjuangan.