Di balik suara dentuman bom dan puing-puing bangunan yang rata dengan tanah, muncul satu cerita yang mencerminkan luka mendalam rakyat Gaza. Ratusan, bahkan ribuan warga kini hidup tanpa anggota tubuh. Anak-anak, perempuan, dan para pekerja sipil menjadi korban brutalitas yang dilancarkan Israel sejak 7 Oktober 2023.

Salah satunya adalah Raed Abu Al-Kass, seorang pegawai kota Gaza, yang kakinya harus diamputasi akibat serangan udara saat tengah bekerja mengoperasikan pompa air untuk warga.

Bukan hanya kehilangan kaki, ia juga kehilangan salah satu anaknya, sementara anak lainnya—Mouhammad—terpaksa menjalani nasib serupa: kaki yang diamputasi, dan mimpi sebagai pemain bola profesional yang sirna seketika.

“Dulu saya berpikir, membantu orang akan menyelamatkan saya dari roket mereka,” kata Raed lirih.

“Tapi mereka menarget kami yang tak bersenjata. Kaki saya hancur di depan mata, anak saya gugur, dan Mouhammad pun kini duduk di kursi roda.”

Mouhammad, yang dulunya bermain setiap hari bersama tim muda klub Al-Shuja’iyya, kini hanya berharap satu hal: bisa berdiri kembali.

“Saya hanya ingin memakai kaki buatan yang ringan, agar bisa membantu ayah saya dan mungkin—bermain bola sebentar saja dengan teman-teman.”

Keduanya kini menjalani rehabilitasi di Pusat Kaki Palsu dan Rehabilitasi di Gaza. Namun keterbatasan alat dan tenaga medis membuat proses penyembuhan berjalan lambat.

Menurut data resmi, sudah tercatat lebih dari 4.700 kasus amputasi akibat serangan Israel—48% di antaranya perempuan, dan 20% anak-anak.

Perjuangan Melawan Kekurangan

Husni Mehanna, juru bicara pusat tersebut, mengungkapkan bahwa sejak awal agresi, sudah 600 korban diamputasi yang ditangani timnya.

Namun hanya sekitar 100 yang berhasil dipasangkan kaki palsu, dan banyak lainnya masih antre.

Sementara itu, 320 korban sedang dalam terapi harian, berebut waktu dan alat yang jumlahnya sangat terbatas.

“Kami kekurangan bahan baku, alat medis, dan bahkan tenaga teknis. Peralatan yang kami miliki rusak, dan kami tidak bisa memperbaikinya karena suku cadang tak bisa masuk ke Gaza,” kata Mehanna.

Setiap hari, Raed dan Mouhammad datang ke pusat rehabilitasi. Mereka saling menopang, saling menguatkan. Tapi di balik semangat itu, tersimpan satu harapan besar: bisa keluar dari Gaza, mencari pengobatan yang lebih layak dan memasang kaki buatan yang sesuai.

“Tak ada yang tersisa selain istri dan anak saya. Kami ingin bisa saling membantu, hidup dengan sisa martabat yang kami punya,” kata Raed.

Mouhammad menimpali: “Saya ingin berlari lagi. Walau hanya sebentar. Israel telah menghancurkan impian saya, tapi tidak menghancurkan iman saya bahwa kita akan bangkit.”

Ancaman Krisis Kemanusiaan

Blokade total Israel atas Jalur Gaza sejak Maret lalu semakin memperburuk kondisi. Tak hanya bantuan medis, makanan, dan bahan bakar juga dicegah masuk.

Israel bahkan mengingkari perjanjian gencatan senjata dan pertukaran tahanan yang berlaku sejak Januari lalu, menyebabkan jutaan warga Gaza kembali terperangkap dalam genosida yang tak berkesudahan.

Dari laporan terakhir, lebih dari 170 ribu warga Palestina gugur atau terluka, dan lebih dari 11 ribu dinyatakan hilang. Dalam sunyi dan luka, cerita Raed dan Mouhammad adalah suara dari Gaza yang tak ingin dilupakan dunia: meski kaki mereka telah hilang, harapan dan kehormatan mereka tetap tegak berdiri.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here