Pejuang Palestina kembali menunjukkan kemampuan militernya di tengah genosida yang tak kunjung henti. Sabtu lalu (19/4), sebuah kendaraan lapis baja Israel dihantam ranjau dan rudal anti-tank dalam penyergapan terkoordinasi di Hayy at-Tuffah, Gaza Timur. Serangan ini diklaim sebagai operasi pertama yang bersifat kompleks sejak Israel melanjutkan agresinya pada Maret lalu, usai mengingkari kesepakatan jeda kemanusiaan.

Analis militer asal Yordania, Mayor Jenderal Purnawirawan Fayez al-Duwairi, menyebut operasi ini sebagai “perang dua tahap”—dimulai dengan peledakan ranjau terhadap tank, lalu dilanjutkan penyergapan terhadap pasukan penyelamat Israel yang datang ke lokasi.

Media Israel melaporkan satu tentara tewas dan empat lainnya luka-luka—beberapa dalam kondisi kritis. Sementara itu, pertempuran sengit pecah di beberapa titik di Gaza Utara. Jet-jet tempur Israel kembali menggempur wilayah padat penduduk, namun tak mampu membungkam perlawanan.

Strategi Israel: Dari Ketegasan ke Kekacauan

Menurut al-Duwairi, operasi ini mencerminkan dua hal penting: bahwa perlawanan Palestina belum lumpuh, dan bahwa strategi Israel telah kehilangan arah. Ia menilai Kepala Staf IDF yang baru, Herzi Halevi, tampak lebih mengejar misi politik ketimbang target militer. “Ini bukan lagi tentang menghancurkan Hamas,” katanya, “melainkan menyelamatkan koalisi Netanyahu dari keruntuhan.”

Lebih dari enam bulan serangan tanpa henti telah menghancurkan sebagian besar infrastruktur sipil Gaza, namun tidak satu pun dari sasaran strategis Israel benar-benar tercapai. Hamas tetap eksis, rakyat Palestina terus bertahan, dan opini global kian mengarah pada desakan penghentian perang.

Retorika Kosong: “Menghapus Hamas” Tidak Masuk Akal

Israel bersikeras bahwa agresi militer akan berakhir hanya jika seluruh tawanan dikembalikan dan Hamas “dihancurkan total.” Namun bagi al-Duwairi, klaim ini tidak realistis. Ia menegaskan bahwa tak pernah ada preseden dalam sejarah ketika pihak penjajah mampu “menghapus” perlawanan yang berakar dari rakyat.

“AS tidak bisa mengalahkan Taliban, juga tak mampu membungkam Vietcong,” ujarnya. “Mengapa Israel berpikir bisa menghancurkan Hamas dengan tank dan bom?”

Al-Duwairi menyimpulkan bahwa apa yang terjadi hari ini di Gaza bukan lagi perang militer, tapi lingkaran setan politik yang dipertahankan untuk agenda tertentu. “Tak ada lagi tujuan militer. Yang ada hanya upaya menggusur penduduk Gaza secara sistematis.”

Harga Kemanusiaan: Luka yang Terus Menganga

Sejak 7 Oktober 2023, lebih dari 168 ribu warga Palestina gugur atau terluka akibat agresi brutal Israel, mayoritas adalah anak-anak dan perempuan. Lebih dari 11 ribu orang masih hilang di bawah reruntuhan. Di tengah penderitaan ini, operasi militer seperti yang terjadi di Hayy at-Tuffah menunjukkan bahwa semangat perlawanan belum padam—dan tak akan pernah padam selama tanah masih dijajah dan hak hidup dirampas.

Gema dari Gaza jelas: rakyatnya belum menyerah, dan kekuatan militer saja tidak akan pernah cukup untuk mematahkan kehendak mereka. “Kami bukan angka. Kami adalah suara dan darah yang tak akan berhenti menyuarakan kemerdekaan,” kata seorang jurnalis lokal di Gaza Timur, melalui sambungan suara yang terputus-putus oleh dentuman bom.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here