Pakar militer dan strategi, Brigadir Elias Hanna, menyatakan bahwa masalah terbesar yang menghambat kesepakatan pertukaran tahanan dan gencatan senjata di Gaza adalah tidak adanya pengawas di lapangan untuk memantau pelaksanaan perjanjian tersebut. Ia juga menyoroti sikap ambigu Israel ketika menyatakan bahwa mereka akan melanjutkan pencapaian targetnya di Gaza.
Pada Minggu pagi, kesepakatan pertukaran tahanan dan gencatan senjata antara pejuang Palestina di Gaza dan Israel mulai berlaku. Dalam tahap pertama, kesepakatan ini akan berlangsung selama 42 hari, di mana negosiasi akan dilakukan untuk memulai tahap kedua dan ketiga. Pada hari pertama perjanjian, Israel dijadwalkan membebaskan 90 tahanan, setelah sebelumnya pejuang Palestina membebaskan tiga tahanan sipil perempuan Israel.
Dalam analisisnya terkait perkembangan di Gaza, Brigadir Hanna mengungkapkan adanya banyak hambatan dalam implementasi perjanjian, khususnya pada tahap kedua, yang berkaitan dengan situasi pascaperang dan siapa yang akan menguasai Gaza. Ia menyebut bahwa Israel tengah mempersiapkan skenario buruk jika terjadi situasi tertentu secara militer. Oleh karena itu, mereka mempertahankan dua divisi militer di sekitar Gaza serta pos-pos strategis di dalam wilayah tersebut.
Sebelumnya, Perdana Menteri sekaligus Menteri Luar Negeri Qatar, Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani, mengumumkan bahwa tim dari Qatar, Mesir, dan Amerika Serikat akan bekerja untuk memantau implementasi kesepakatan gencatan senjata ini.
Brigadir Hanna menjelaskan bahwa perjanjian tersebut dilaksanakan secara bertahap. Tahap pertama mencakup penarikan dari wilayah pemukiman, sementara dalam tujuh hari berikutnya, Jalan Al-Rashid akan dibuka pada tahap kedua, diikuti dengan penarikan dari poros Netzarim hingga Jalan Salahuddin, yang memungkinkan warga Gaza bergerak dari selatan ke utara. Masalah Netzarim diperkirakan akan selesai dalam 22 hari.
Hal baru yang muncul, menurutnya, adalah persiapan militer Israel di sekitar Gaza untuk menenangkan para pemukim. Ini menunjukkan bahwa Israel sedang mengubah sistem dan konsep keamanan di sekitar Gaza secara fundamental, sesuatu yang belum pernah terjadi dalam sejarah Israel.
Di sisi lain, Brigadir Hanna memuji disiplin yang ditunjukkan oleh para pejuang di Gaza. Ia menyatakan bahwa organisasi di luar kerangka negara mampu mengguncang institusi militer dan keamanan Israel serta doktrin strategisnya. Ia menegaskan bahwa efek pencegahan yang menjadi dasar doktrin tersebut telah runtuh.
Ia juga menyoroti bahwa pihak yang paling diuntungkan dalam situasi ini adalah militer Israel, yang berhasil keluar dari “lumpur” Gaza. Sebaliknya, pihak yang paling merugi adalah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, yang kalah dalam pertempuran politik, sementara pejuang Palestina meraih kemenangan melalui ketabahan mereka. “Netanyahu menjalankan perang yang sepenuhnya militer, namun ia terpaksa kembali ke jalur politik untuk mencapai sebagian tujuannya, dan bukan seluruhnya.”
Menurut analisis Hanna, pejuang Palestina dengan sangat efektif memanfaatkan video para tahanan serta pernyataan Abu Ubaidah, juru bicara militer Brigade Al-Qassam—sayap militer Hamas—sebagai bagian dari strategi media yang mendukung operasi militer mereka.
Diketahui bahwa Abu Ubaidah memberikan pernyataan video setelah gencatan senjata berlaku di Gaza, menegaskan bahwa Brigade Al-Qassam dan faksi perlawanan lainnya berkomitmen penuh, tetapi semua itu bergantung pada komitmen Israel terhadap kesepakatan tersebut.
Sumber: Al Jazeera