Ribuan warga Palestina turun ke jalan di seluruh Gaza pada Ahad (19/1/2025), menyambut dimulainya gencatan senjata antara Israel dan Hamas. Sebagian merayakan perjanjian tersebut, sementara yang lain mengunjungi makam kerabat mereka, dan banyak yang kembali untuk memeriksa kondisi rumah mereka.
Sukacita menyelimuti hati warga Gaza yang terluka setelah pengumuman dimulainya gencatan senjata yang sempat tertunda sekitar tiga jam, menimbulkan ketakutan bahwa kesepakatan itu akan gagal.
Pertahanan Sipil Palestina di Gaza melaporkan bahwa setidaknya 13 orang syahid akibat serangan Israel selama penundaan tersebut. Namun, tidak ada laporan serangan baru setelah kesepakatan dimulai pada pukul 11.15 waktu setempat (09.15 GMT).
Sesuai rencana, gencatan senjata seharusnya dimulai pada pukul 6.30 GMT, tetapi Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan bahwa kesepakatan baru berlaku setelah menerima daftar tiga tahanan perempuan yang akan dibebaskan. Hamas menjelaskan bahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh “alasan teknis di lapangan,” sehingga memengaruhi jadwal implementasi.
Setelah daftar diserahkan, Brigade Al-Qassam mengumumkan nama-nama tahanan perempuan tersebut. Netanyahu kemudian mengonfirmasi bahwa tahap pertama gencatan senjata dimulai pada pukul 11.15 waktu setempat.
Setelah kesepakatan diberlakukan, warga Palestina akhirnya dapat bernapas lega, meski masih dihantui kecemasan. Langit Gaza yang selama 15 bulan dipenuhi debu akibat ledakan dan raungan pesawat tempur kini tenang. Namun, drone Israel masih terus berpatroli di beberapa area.
Aya, seorang pengungsi dari Gaza yang tinggal di Deir Al-Balah selama lebih dari setahun, mengatakan kepada Reuters bahwa ia merasa seperti menemukan air di tengah padang pasir setelah 15 bulan. “Saya merasa hidup kembali,” ujarnya.
Di Khan Younis, pejuang Hamas melewati jalanan dengan mobil-mobil mereka, disambut sorakan warga. Para pendukung menyampaikan penghormatan kepada Brigade Al-Qassam, sayap militer Hamas. Salah seorang pejuang mengatakan bahwa semua faksi perlawanan tetap ada, “meski Netanyahu tidak menginginkannya.”
Namun, banyak warga yang kembali ke rumah mereka dikejutkan oleh kehancuran masif akibat perang. Permukiman yang sebelumnya ramai kini berubah menjadi hamparan puing tanpa tanda kehidupan.
Sejumlah warga mulai mengeluarkan jenazah dari bawah reruntuhan bangunan dan jalanan. Sebagian lainnya mencari makam keluarga yang dimakamkan secara darurat selama perang.
Ahmed Abu Ayham (40), seorang pengungsi dari Gaza yang kini tinggal di Khan Younis, menggambarkan kehancuran di kotanya sebagai “sangat mengerikan.” Meskipun gencatan senjata menyelamatkan nyawa, ia menambahkan, “Ini bukan waktu untuk merayakan. Kami merasa sangat sakit, sudah waktunya untuk saling memeluk dan menangis.”
Untuk memulihkan Gaza, tim pemerintah mulai membersihkan jalan dan menghilangkan puing-puing. Pasukan keamanan dikerahkan untuk menjaga ketertiban, sementara truk bantuan mulai masuk melalui perbatasan Karem Abu Salem, Erez, dan Zikim.
Di sisi lain, keluarga para tahanan Palestina yang menunggu pembebasan orang-orang tercinta mereka kini hidup dalam ketidakpastian, tidak tahu apakah mereka masih hidup atau telah meninggal.
Ada kebingungan terkait jumlah tahanan Palestina yang akan dibebaskan, yang tampaknya berkaitan dengan situasi tahanan Israel di Gaza—baik yang masih hidup maupun yang telah tewas.
Suhail Faiz, seorang warga Gaza, mengatakan bahwa kebahagiaan gencatan senjata terasa pahit. “Banyak yang kehilangan anggota keluarga, bahkan seluruh keluarganya. Kesedihan masih menyelimuti wajah dan hati kami.”
Aya menambahkan, “Perang memang telah usai, tetapi kehidupan tidak akan kembali seperti semula karena kehancuran ini. Namun, setidaknya tidak ada lagi darah yang tertumpah, semoga.”
Sejak 7 Oktober 2023, Israel—dengan dukungan Amerika Serikat—melakukan genosida di Gaza, menewaskan lebih dari 157 ribu warga Palestina, termasuk anak-anak dan wanita, dengan lebih dari 11 ribu lainnya hilang. Ini merupakan salah satu bencana kemanusiaan terburuk di dunia.
Sumber: Al Jazeera