Spirit of Aqsa- Di atas reruntuhan rumah yang hancur dan di samping tenda pengungsian yang ditinggali bersama keluarganya, Suhad Jaradah (24) mendirikan tenda pendidikan untuk anak perempuan di daerah Al-Zawaida, Gaza tengah. Upaya ini menjadi simbol keteguhan dan semangat untuk mempertahankan hak hidup dan belajar di tengah konflik. 

Kelas Darurat untuk Anak Perempuan

Suhad, lulusan jurusan Bahasa Inggris dan Terjemahan Universitas Al-Azhar, sebelumnya memiliki banyak rencana melanjutkan studi dan karier sebagai penerjemah. Namun, perang yang menghancurkan Gaza membuat seluruh bentuk pendidikan terhenti. Tidak menyerah pada keadaan, Suhad mendirikan kelas darurat di dalam tenda yang dihiasi warna-warna cerah, menampung siswa perempuan usia 12–15 tahun. 

Kegiatan berlangsung selama tiga bulan, meliputi pembelajaran bahasa Inggris, kegiatan emosional seperti bernyanyi bersama lagu-lagu tradisional, hingga permainan interaktif. “Tujuan saya adalah membantu mereka mengembalikan sebagian kemampuan yang hilang akibat lama tidak bersekolah,” ujar Suhad. 

Namun, penutupan jalur perbatasan dan berhentinya pasokan bantuan memaksa kegiatan belajar ini terhenti sementara. 

Harapan di Tengah Kesulitan

Salah satu siswa, Aisha Kahil (13), yang kehilangan ayahnya di bulan pertama perang, menunjukkan semangat besar dalam belajar. “Saya ingin menjadi jurnalis berbahasa Inggris agar bisa menyuarakan perjuangan anak-anak Palestina ke dunia,” kata Aisha. 

Hal serupa dirasakan Ala Hamdan (14). Ayahnya mengatakan bahwa kelompok belajar ini membantu Ala kembali menemukan harapan setelah kehilangan segalanya akibat perang. 

Keluarga yang Mendukung

Meskipun keterbatasan fasilitas, keluarga Suhad turut membantu. Ibunya, seorang pegawai pemerintah, memasak makanan ringan sederhana untuk para siswa menggunakan kayu bakar. Sementara itu, ayah Suhad berupaya menyediakan perlengkapan belajar dengan usaha besar, bahkan menempuh jarak jauh untuk membelinya. 

Terhenti Karena Krisis

Meskipun memiliki dampak positif, inisiatif ini harus terhenti akibat kurangnya bahan makanan dan perlengkapan belajar. Suhad berharap penghentian ini bersifat sementara. “Tanpa bahan dasar, tidak mungkin melanjutkan. Kondisi ini menyulitkan keluarga untuk mengizinkan anak-anak mereka datang,” jelasnya. 

Pendidikan yang Dihancurkan

Serangan Israel sejak 7 Oktober 2023 menyebabkan kerusakan besar pada infrastruktur pendidikan di Gaza. Sebanyak 123 sekolah hancur total, 335 rusak sebagian, sementara lebih dari 11 ribu siswa dan 750 guru meninggal dunia. 

Kementerian Informasi Gaza menyebut tindakan ini sebagai kebijakan penghancuran sistematis terhadap pendidikan di wilayah tersebut. 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here